Pesona Rebana Biang tak habis tergilas zaman– Pertunjukan Rebana Biang kerap kali menghadirkan para pemain senior berusia usia lanjut. Beberapa di antara mereka memang telah kawakan sebab Rebana Biang tak mudah dimainkan oleh sembarang orang. Ukuran garis tengahnya yang besar tak jarang membuat orang kesulitan membawa dan memainkannya. Namun, apakah semata karena itu Rebana Biang tak bisa meregenerasi secara maksimal?
Adalah David Rahman sebagai generasi keenam Sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur yang masih melestarikan alat musik yang terpengaruh dari kebudayaan Arab ini. Lelaki yang telah bermain Rebana Biang sejak 2007 ini tak menyangkal tantangan melestarikan Rebana Biang.
“Ini yang masih menjadi tantangan kita, yaitu mindeset anak-anak sekarang yang gengsi memainkan Rebana Biang hanya tiga rebana saja,” ujarnya dihubungi senibudayabetawi.com, Senin (26/4).
Rebana Biang merupakan salah satu seni warisan budaya Betawi. Disebut Biang karena ukurannya yang besar. Ciri khas yang paling mencolok dari Rebana Biang dibanding rebana lain yakni jumlahnya yang hanya tiga rebana saja. Sedangkan rebana jenis lain memiliki beberapa buah rebana.
Kendati demikian, tiga buah Rebana Biang memiliki nama mengacu ukurannya yang berbeda-beda—sesuai ukuran garis tengahnya. Rebana terkecil Gendung (30 sentimeter), Kotek (60 sentimeter), dan Biang (90 sentimeter).
Ukurannya yang relative besar tak ayal membuat pemain kesulitan membawa dan memainkannya. Kerap kali para pemain kesulitan duduk sopan karena bagian kaki digunakan sebagai penyangga.
Perbedaan lainnya, rebana jenis lain memiliki logam kicrik yang berbunyi gemricing saat dipukul, sedangkan dalam Rebana Biang tak ada.
Perekembangan
Menurut David, secara umum tak ada teknik khusus dalam mengajarkan Rebana Biang. Yang terpenting, minat dan keseriusan mereka dalam belajar. “Untuk awal saya sama sekali tak menetapkan standar. Asal bisa bunyi saja, nanti untuk teknik baru bisa menyusul,” imbuh lelaki yang pernah mementaskan Rebana Biang di Australia ini.
Konon, pertunjukan Rebana Biang merupakan sebuah kesenian ritual yang diajarkan setelah pengajian. Dalam perkembangannya, seni pertunjukan ini justru bergeser menjadi sebuah hiburan yang kerap mengiringi teater, tari yaitu Teater Blantek dan Blenggo. Pertunjukan ini kerap kali memeriahkan berbagai perayaan seperti pernikahan, khitanan, hingga ulang tahun.
Dalam pementasannya, lagu-lagu yang dibawakan pun bernuansa Islam, seperti Sholawat Badar. Namun, ia menyebut pertunjukan Rebana Biang juga kerap kali memasukkan unsur Betawi berupa pantun. “Kalau pantun biasanya lebih ke pantun nasihat,” imbuhnya.
Dalam perkembangannya, kesenian Rebana Biang telah dikenalkan ke masyarakat Betawi sejak tahun 1825. Tak hanya di wilayah Ciganjur, Jakarta Selatan, perkembangan Rebana Biang juga meluas ke berbagai tempat seperti Cijantung, Cakung, Ciseeng, Parung, Pondok Rajeng, Bojong Gede dan Citayam. “Di Sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur inilah salah satunya pesona rebana biang tak habis tergilas zaman,” pungkas dia. (dan)