Riwayat Jagoan Betawi — Istilah Jago pada masyarakat Betawi ditujukan pada guru maen pukulan atau orang yang ahli darlam ilmu bela diri dengan tujuan melindungi masyarakat. Seorang Jago Betawi pantang untuk berjudi, memperkosa, merampok hingga minum-minuman keras.
Dalam Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi, karangan GJ Nawi disebutkan bahwa awal munculnya Jago Betawi ini berasal dari gejolak sosial dan perlawanan masyarakat tani pada zaman kolonial Belanda. Pada saat itu, hampir tiap kampung di Betawi memiliki Jago dan aliran maen pukulan.
Seolah tak kehilangan akal, pemerintah kolonial Belanda justru menanggapi kemunculan para Jago dengan politik Devide et Impera. Dengan merekrut orang pribumi yang memiliki kepandaian bela diri menyamai jago, Belanda menjadikan mereka sebagai penguasa tanah perkebunan. Mereka diperkejakan sebagai mandor, centeng, tukang pukul hingga jabatan resmi dalam birokrasi mereka, Wijkmeester (tuan Bek). Karena menyalahi kedudukan sebagai Jago, masyarakat menyebut pengkhianat ini dengan nama Jagoan.
Jagoan VS Jago
Perlawanan sengit antara Jagoan dan Jago tak dapat terelakan. Gejolak sosial yang dipelopori oleh para Jago membuat pemerintah Belanda ketat mengawasi kegiatan pencak silat. Di daerah Particulier Landeijen (tanah partikelir) Tambun Bekasi misalnya, yang memiliki tingkat perlawanan yang cukup tinggi imbas banyaknya para jago dari berbagai etnis.
Setelah terjadi perlawanan sengit yang menewaskan banyak Jago, puncaknya pada 24 Agustus 1870 dilakukan hukuman mati pada para Jago. Delapan orang Jago digantung di Alun-Alun Bekasi. Pemerintah Belanda menyebut delapan orang terhukum itu dengan sebutan Achts Tamboenmoerdenaars atau Delapan Jagal dari Tambun.
Sekalipun terjadi pemberontakan ganas dari para Jago, pemerintah Belanda tak melakukan pelarangan kegiatan maen pukulan. Justru, demi pemenuhan kepentingan pemerintahan, maen pukulan dipelihara dan dipertunjukkan pada acara-acara Negara seperti ulang tahun hingga penyambutan tamu.
Namun, pada awal abad ke-20 munculah kebijakan baru bernama Politik Etis yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial bertanggungjawab moral terhadap kesejahteraan pribumi. Kemunculan Politik Etis juga merupakan kritik keras dari orang-orang Belanda terhadap tanam paksa yang dilakukan pribumi.
Berlakunya Politik Etis juga berpengaruh terhadap nasib Jagoan (centeng, mandor, tukang pukul) yang selama ini bertugas melakukan pengawasan perkebunan. Adapun pengawasan keamanan dialihkan pada polisi pemerintahan sehingga kondisi lebih kondusif dan aman (disebut zaman Normal 1900-1930). Keadaan ini membuat peran Jago dan Jagoan bergeser. Riwayat Jagoan Betawi kini lebih kepada nilai seni dan kompetisi sebagai ajang hiburan.