Chairil Anwar dan Betawi

Chairil Anwar dan Betawi

Sebuah nisan berbentuk tugu menjulang menarik perhatian. Tertulis, Tak perlu sedu sedan itu. Aku ini binatang jalan dari kumpulannya terbuang. Ya, siapa lagi kalau bukan Chairil Anwar, si penyair jalang. Tertulis pula, gugur Jakarta, 28 April 1949. Kepergiannya diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Namun, pelopor Angkatan 45 ini ternyata tak hanya mendobrak puisi Pujangga Baru yang mendayu-dayu. Ekspresif, spontan, dan pemberontakkannya sarat makna dengan Betawi. Chairil Anwar dan Betawi.

Kisah hidup Chairil Anwar yang terkesan luntang luntung dan tak pernah punya pekerjaan tetap hingga menikah dan bercerai nyaris tak mengurangi sisi menarik sajak-sajaknya yang melampaui zaman. Terlebih, sebagian besar sajak-sajaknya bercerita tentang Jakarta. Tak berlebihan jika banyak orang menyebut mengenang Jakarta, mengenang Chairil Anwar sekalipun ia lahir di Medan.

Dalam puisi berjudul “Aku Berkisar Antara Mereka” (1949) misalnya, Chairil menggambarkan suasana Jakarta tanpa harapan. Kami timpang dan pincang, negatip dalam janji juga. Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja, sedang tahun gempita terus berkata. Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.

Namun ternyata Chairil tak hanya membekukan lanskap Jakarta melalui kata-katanya, tapi ia juga memasuki ranah Bahasa Betawi di dalamnya. Ridwan Saidi menyebut, Chairil Anwar sebagai pionir yang turut mempopulerkan Bahasa Betawi.

“Jauh sebelum Benyamin dan Firman Muntaco muncul, Chairil telah menggunakan Bahasa Betawi dalam sajak-sajaknya,” ujarnya kepada senibudayabetawi.com, Rabu (28/4).

Misalnya, dalam sajak berjudul “Hukum”yang dibuka dengan kalimat Saban sore ia lalu depan rumahku. Penggunaan kata saban yang sangat kental dalam bahasa Betawi sehari-hari. Demikian pula penggunaan istilah mampus dalam mampus kau dikoyak-koyak sepi dalam sajak “Sia-sia”.

Bahasa yang terkesan kasar juga terdapat dalam penggunaan kata bini dalam sajak berjudul “Kupu-kupu Malam dan Biniku”. Pun dalam sajak “Rumahku”, ia menyebut istilah gedung menjadi gedong. Kulari dari gedong lebar halaman.

Bahasa Betawi

Ridwan menyebut ini tak lain karena Chairil Anwar hidup dan menyatu dengan kehidupan di Sawah Besar. Ia banyak bergaul dengan masyarakat Betawi. Tak berlebihan jika Ridwan Saidi menyebut bahasa penyair binatang jalang ini mampu menjadi medium semangat egaliter bahasa kelas bawah Jakarta.

“Egaliternya tampak bahwa dalam bahasa Betawi tidak dikenal lagi penglapisan (stratifikasi) seperti bahasa daerah lain, seperti Jawa yang harus melihat dengan siapa berbicara,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menyebut dalam bahasa Betawi semua kata-kata bisa digunakan kepada siapa saja. Penghormatan, sambung dia bukan terletak pada penggunaan kata yang digunakan kepada orang yang lebih tua atau muda. Akan tetapi dalam lagu, langgam serta cara pengucapan kata-katanya.

Chairil Anwar tak sekadar menolak aturan formalis tentang dalam dunia persajakan, tapi ia dalam keseluruhan juga menyerap karakter Betawi yang ekspresif dan spontan. Tak ayal jika nama besar Chairil Anwar selalu digaungkan melampaui zaman. (dan)

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.