Kita tak memperketat juga, cenderung membebaskan siapa saja yang mau belajar. Laki-laki maupun perempuan. Gede maupun kecil, asal jangan bosan aja
Layaknya seorang penari. Begitulah kesan pertama yang terlihat dari atraksi pendekar Betawi saat beraksi. Ya, seperti halnya kamuflase, di balik gerakan tangan dan kakinya yang lembut terdapat jurus yang mematikan lawan.
Berbicara tentang silat Betawi, tak afdal rasanya jika tak menyebut kawasan di Rawa Belong, Jakarta Barat. Tak lain, karena di tempat ini dipercaya sebagai tempat lahirnya Pitung, pahlawan lokal Betawi yang membela rakyat kecil dari penjajah Belanda sekitar abad ke-19 Masehi.
Kendati memang belum bisa dipastikan kebenarannya, namun menilik perkembangan silat Betawi yang sangat pesat di daerah ini maka kepastian cerita si Pitung sudah tidak diperlukan lagi. Salah satu silat yang juga mendominasi di Rawa Belong yakni silat Cingkrig.
Seperti halnya namanya, Cingkrig berasal dari ungkapan Bahasa Betawi yakni jingkrak jingkrik atau cingkrak-cingkrik yang dapat diartikan gesit dan lincah, yang menjadi dasar dari silat ini. Sementara kata cingkrig dengan akhiran huruf “g” pada huruf terakhirnya bukan “k” mengacu pada kebiasaan logat Betawi.
“Menggunakan “G”,” kata pimpinan padepokan Silat Cingkrig Kong Hayat Satria Jaya kepada senibudaya.com.
Lelaki yang akrab disapa Bang Jaya ini menyatakan bahwa sebenarnya Cingkrig tak hanya tumbuh dan berkembang di Rawa Belong. Namun, aliran jenis ini berkembang di beberapa daerah dengan jurus yang berbeda pula.
“Ya cirinya (Cingkrig) khas Rawa Belong itu bukan jadi kaya versi. Hanya bela diri yang dikembangin dari satu sampai dua belas jurus paten. Namun, masing-masing perguruan suka banyak versi beda,” ungkapnya.
Jaya sekaligus menjelaskan bahwa sejarah Cingkrig yang berkembang bermula dari seorang petani Ki Maing yang terinspirasi dari gerakan monyet sebagai jurus dasarnya. Kemudian turun ke tiga muridnya yakni Ki Ali, Ki Ajit dan Ki Syarie. “Dari Ki Ajit itu sampai turun ke Kong Hayat trus turun temurun lagi hingga ke saya,” imbuhnya.
Kendati demikian, menurut Jaya, Cingkrig juga merupakan silat yang cenderung fleksibel sehingga dengan mudahnya berkembang. Ia juga menyatakan bahwa dengan adanya pertukaran aliran ilmu dari suatu tempat ke tempat lain justru akan menambah kekayaan dari jurus itu.
“Jadi tidak malah menggeser. Kita silaturahminya tambah erat. Jangan sampai terpecah belah,” kata dia.
Merawat Silat Cingkrig
Tak dapat dipungkiri, seperti halnya produk budaya lainnya pasang surut Cingkrig juga pernah dialami oleh Jaya. Ia menceritakan sepak perjalanannya mengajar Cingkrig dari tahun 80’an hingga saat ini. Adapun pada tahun 80’an ia harus mengajarkan Cingkrig dari rumah ke rumah, mengikuti ajaran sang guru, Kong Hayat.
“Prioritas keluarga karena pesan dari Kong Hayat kalau memang bisa mengajar maka wajib ajarin anak, cucu, keponakan. Kalau (mengajar) orang lain, jangan buat mata pencaharian,” bebernya.
Alhasil, atas pengabdian Jaya selama kurang lebih empat puluh tahun itu ia kini bersyukur Cingkrig masih bisa bertahan dan eksis. Hingga saat ini ada sekitar 80 murid yang aktif di sanggarnya. Hal itu tak lain karena keseriusan dan keuletan murid-muridnya.
“Kita tak memperketat juga, cenderung membebaskan siapa saja yang mau belajar. Laki-laki maupun perempuan. Gede maupun kecil, asal jangan bosan aja,” ujarnya.
Ya, disadari Jaya bahwa murid yang hilang dan pergi juga pernah ada. Namun, ia tetap optimis layaknya ajaran filosofis yang diajarkan secara turun temurun yang sampai saat ini ia ajarkan.
“Kalau dahulu, memang persyaratan menjadi murid sangat ketat, seperti bawa bokor, bunga, golok, kain putih, hingga jarum. Tapi kalau sekarang kita ajarkan saja filosofisnya,” jelas dia.
Menurut Jaya, awal mula adanya silat di Betawi tak lain karena tradisi kumpul pengajian yang dijalankan turun temurun. Namun, karena ingin olah gerak, akhirnya muncullah silat yang diampu oleh guru.
Menariknya, beragam persyaratan yang harus dipenuhi calon murid tersebut memiliki makna filosofis. Misalnya, bokor atau wadah yang dianggap sebagai jiwa yang kosong lalu diisi kain putih yang bermakna bersih. Lalu benang yang bermakna pikiran jangka panjang.
Sementara jarum tajam yang bermakna calon murid harus memiliki pikiran dan omongan yang tajam untuk meredakan konflik di antara anggota. Sedangkan bunga yang berarti harum.
“Kita umpamain apa, kalau baju kita sobek, bolong itu bisa dirajut kan, dijahit dengan benang. Tujuannya silat itu gitu, pesilat harus bisa mengembangkan dengan cara yang positif, bisa nyelametin orang lemah yang didzolimin”. admin