Sanggar Gledeg

Kala Sanggar Betawi harus Beradaptasi di Masa Pandemi

Tidak mudah mempertahankan, apalagi mengembangan seni tradisional Betawi, di masa pandemi. Adaptasi adalah kunci agar sanggar tetap lestari

Ketika kita berniat menonton sebuah pentas seni Betawi, biasanya yang terbesit di benak adalah sebuah pertunjukkan di panggung atau area terbuka yang luas. Pertunjukkan Betawi—apakah itu silat, tari lenong, hingga hadrah akan semakin atraktif dengan riuh rendah kesemarakan penonton.

Sensasi adrenalin—musik yang menggema, gemerlap lampu panggung, hingga ditonton banyak mata seolah lenyap begitu saja karena kemunculan virus corona atau COVID-19.

Jika biasanya pesilat Betawi cukup menunjukkan jurus dan golok untuk memerangi lawan musuh, kini mereka harus mulai memerangi virus yang melumpuhkan dunia ini melalui sebuah adaptasi.

Ya, imbas virus COVID-19, kini seniman Betawi harus kehilangan panggung—termasuk sensasi di dalamnya. Mereka kini harus rela menyajikan pertunjukan di depan kamera lalu mengirimkannya melalui online.

Nova Azzahra, salah satu penari dari Sanggar Gledek Juraganan menyatakan pertunjukkan tari secara virtual tak ubahnya seperti halnya latihan tari biasa yang ia lakukan di sanggar. Taka da interaksi antara seniman dan penonton. “Jadinya biasa saja, ngga ada tantangannya,” kata dia, Jumat (18/12).

Menari, khususnya menari tarian Betawi memang telah menjadi kegemarannya sejak kecil. Tak ayal, perempuan ini tergabung dengan sanggar yang berada di kawasan Kebayoran Lama itu sekitar empat bulan yang lalu.

Sementara pimpinan Sanggar Gledek Juraganan, yakni Babe Sadeli menyatakan meski berada di masa pandemi, sanggar yang berdiri sekitar lima tahunan itu tak pernah vakum beraktivitas. Adapun beberapa kegiatan yang ada di sanggar, yakni silat, tari, hadrah, operet, pembuatan bingkisan hingga pengajian rutinan.

“Khusus untuk yang pentas kan biasanya silat dan tari. Kebetulan kemarin kami juga berpartisipasi lomba secara virtual baik itu tingkat kelurahan maupun kecamatan,” jelasnya.

Lelaki berusia 52 tahun itu juga mengaku lebih memilih pementasan langsung di panggung daripada secara virtual. Ya, selain sensasi yang berbeda, menurut Babe Sadeli, pementasan secara virtual lebih ribet. “Karena untuk pengambilan video tidak hanya cukup satu kali take, bisa berulang kali. Kadang banyak murid yang capek lalu hasilnya ngga maksimal,” jelasnya.

Kendati demikian, Babe Sadeli memastikan hingga di penghujung akhir tahun 2020 ini semangat murid-muridnya untuk berlatih dan mengikuti perlombaan—baik itu langsung maupun virtual masih akan terus menggelora. “Itu kuncinya, harus adaptasi juga. Mau ngga mau kita harus terus partisipasi “. admin

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.