Berjuluk Raja Pantun Betawi

Berjuluk Raja Pantun Betawi, Zahrudin Ali Beberkan Awal Mulanya

Pake baju kebaye pergi ke kondangan

Berangkat pagi biar ngga kepanasan

Kite di budaya Betawi jangan ada persaingan

Yang ade berbagi dengan penuh keikhlasan

Sebuah pantun terlontar begitu saja dari mulut seorang lelaki bernama Zahrudin Ali Al Betawi. Ya, nama Zahrudin tentu tidak asing bagi masyarakat Betawi. Lelaki berusia 57 tahun ini dinobatkan sebagai Raja Pantun Betawi oleh Badan Musyawarah (Bamus Betawi) sejak 12 Februari 2018 lalu di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan.

Julukan ‘raja’ agaknya tak berlebihan disematkan pada lelaki yang telah bergiat menekuni pantun sejak remaja ini. Ditemui di kediamannya, yakni kawasan Condet, Jakarta Timur, lelaki yang telah menelurkan tiga buku kumpulan pantun ini tak keberatan menceritakan awal mula julukan tersebut.

“Sebenarnya julukan raja, saya keberatan lo. Saya juga merasa beban karena Raja Pantun Betawi kan berarti saya harus selalu siap untuk berkontribusi dalam dunia pantun Betawi,” kata dia, Rabu (23/12).

Desakan demi desakan ia rasakan dari beragam pihak, mulai dari Lembaga Kebudayaan Betawi hingga Bamus Betawi untuk menerima julukan tersebut. “Saya sempat menolak karena masih banyak juga yang ahli dalam berpantun. Tapi mereka bilang, prioritas pada penulis pantun,” jelasnya.

Adapun tiga buah buku pantun yang ia tulis yakni 999 Pantun Betawi, 1500 Pantun Betawi, dan 12 Pantun Cerita Palang Pintu Betawi. Lelaki yang akrab disapa Babe Udin ini sekaligus menegaskan bahwa ia adalah penulis pertama pantun Betawi. “Apalah artinya kalau bisa berpantun tapi tidak menulis menjadi karya, iya kan”.

Lelaki yang juga menjadi pendiri sanggar Batavia Group ini juga menceritakan awal mula kecintaannya terhadap pantun, khususnya pantun Betawi. Menurut ia, pantun Betawi memiliki karakteristik tersendiri dibanding pantun Melayu, yakni dari segi bahasa yang lebih lugas. “Sementara pantun Melayu lebih suka menggunakan istilah perumpamaan, seperti pengandaian,” imbuhnya.

Terus Produktif

Kendati demikian, justru awal mula ketertarikan ia untuk terjun menulis pantun ia peroleh setelah ia terinspirasi dari pantun-pantun daerah lain terlebih dahulu. Misalnya pantun Melayu, pantun Flores, hingga Sulawesi.

“Saat saya mengantar anak ke Perpustakaan Nasional, saya melihat banyak buku pantun dari Melayu, Flores, hingga Sulawesi. Tapi Betawi belum ada, dari situlah saya terinspirasi untuk menulis secara produktif,” kata lelaki yang juga aktif bermain pencak silat ini.

Tak hanya fokus memberikan kontribusinya untuk dunia sastra lama, yakni pantun. Ia juga mengampu Palang Pintu Betawi di sanggarnya, Batavia Group sejak kurang lebih tiga tahun yang lalu.

Banyak prestasi yang berhasil disabet sanggarnya diantaranya Juara 1 Palang Pintu Festival Setu Gintung (milad ke-8 Tangsel) serta Juara Festival Palang Pintu Sejabodetabek (2011, 2012 dan 2013).

Adapun pantun telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) pada Kamis (17/12) lalu di Paris, Perancis. Nominasi pantun yang diajukan secara bersama dari Indonesia dan Malaysia ini  menjadi tradisi budaya Indonesia ke-11 yang diakui oleh UNESCO. admin

1 Response

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.