Palang Pintu Tetap Bersinar

Palang Pintu Tetap Bersinar di Sanggar Sinar Betawi

Keberadaan tradisi Betawi seperti tak pernah ada matinya. Salah satunya palang pintu. Ya, tradisi palang pintu tetap bersinar tak tergilas oleh zaman. Tradisi ini gagal terpinggirkan seiring merebaknya budaya-budaya dari luar yang membaur dalam pusaran arus kota Jakarta.

Sanggar Sinar Betawi merupakan satu dari sekian sanggar Betawi yang masih melestarikan tradisi palang pintu. Sesuai namanya, sanggar ini didirikan dengan harapan tetap menyinari seni budaya Betawi. Sehingga keberadaannya tak tergilas oleh zaman. Termasuk tradisi palang pintu.

Palang pintu sendiri merupakan perpaduan silat dan pantun yang muncul dalam rangkaian khas pernikahan orang Betawi. Dalam tradisi ini, jawara yang merupakan perwakilan dari mempelai lelaki dan perempuan akan beradu memperagakan silat dan berpantun.

Tak ada bukti shahih yang dapat menunjukkan awal mula tradisi ini. Akan tetapi, tokoh pahlawan Betawi, Pitung diketahui telah menjalani tradisi ini saat memperistri Aisyah. Adapun Aisyah sendiri merupakan putri Jawara Kemayoran yang kerap mendapat julukan ‘Macan Kemayoran’ atau Murtadho.

Tradisi palang pintu menyimbolkan tantangan yang harus dilalui mempelai lelaki sebelum meminang pihak perempuan. Itu artinya, jawara dari pihak mempelai lelaki harus bisa mengalahkan pihak mempelai perempuan, baik itu dalam silat maupun berbalas pantun. Dan, itu semua dilakukan sebatas peragaan atau simbol.

Ketua Sanggar Sinar Betawi, Muhammad Nur menyatakan bahwa palang pintu kini tak hanya dimonopoli dapat dinikmati oleh masyarakat Betawi. Namun juga masyarakat di luar Betawi. Ia mengaku kerap juga mendapat panggilan untuk palang pintu di luar Jakarta, seperti Bogor, Tangerang, hingga Bekasi.

Terus Mengedukasi

Menariknya, lelaki yang akrab disapa Bang Bacul ini memiliki pengalaman menarik saat bermain palang pintu dalam pernikahan warga luar Betawi. “Saya sudah lupa tahun berapa, yang pasti itu di daerah Percetakan Negara. Mempelai lelaki dari Padang, sedangkan perempuan dari Sunda. Jadi tidak ada yang tahu pakem palang pintu juga,” kata dia kepada senibudayabetawi.com.

Sang mempelai lelaki hanya tahu sekilas bahwa jawara perwakilan dari pihaknya harus menang melawan pihak perempuan. Otomatis, ia segera memanggil jawara yang digadang-gandang dipastikan menang—bertubuh besar yang juga dari Banteng. Mengetahui hal itu, Bang Bacul tersentak kaget, ia tak menyangka bahwa mempelai lelaki takt ahu menahu soal pakem palang pintu. Ternyata, mempelai lelaki takut tak berhasil menang dan harus kembali pulang.

“Saya segera menegur bahwa baik jawara lelaki maupun perempuan itu sebatas peragaan. Bukan asli. Dari situ saya mulai berpikir untuk terus mengedukasi masyarakat yang memang belum mengetahui tentang tradisi ini,” ujar dia.

Beruntung, sambung Bang Bacul tim palang pintu sanggar saya belum “habis” kalau nanti bermain dengan jawara mempelai lelaki. Pengalaman tak terlupakan itu menjadi semangat Bang Bacul terutama untuk mengembangkan sanggar yang telah secara resmi berdiri pada tahun 2013 lalu.

Bertempat di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, jauh-jauh sebelumnya sanggar ini diawali dengan didirikannya sanggar Rembug—singkatan dari Remaja Betawi unggul yang hanya berfokus pada tradisi palang pintu. Adapun Rembug didirikan pada tahun 2003 atas keinginan Bang Bacul dan kawan-kawan anggota sanggar untuk menghidupkan kembali tradisi palang pintu. “Kami semua udah punya bekal berupa silat, khususnya silat Cingkrig lalu ingin mengembangkannya lagi melalui palang pintu,” kata dia.

Selain silat dan palang pintu, beragam kegiatan seni Betawi juga ada di sanggar ini, diantaranya marawis hingga gambang kromong. Hingga saat ini, sudah ada sebanyak 30 anggota dan mereka biasa berlatih setiap malam minggu. admin

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.