Sebuah kampung tumbuh dengan keunikan tradisi budayanya masing-masing. Tradisi kampung Rawabelong misalnya, yang lekat dengan tiga hal yakni silat, pasarbunga dan hingga kehidupan beternak yang eksis hingga saat ini. Tak berlebihan jika Kampung Rawabelong disebut-sebut sebagai pasar bunga terbesar se-Asia Tenggara hingga terkenal akan aliran silat cingkrignya.
Salah satu pemelihara tradisi Kampung Rawabelong yaitu Achmad Syauqi. Lelaki yang keseharian menggeluti dunia silat dan bercocok tanam ini secara turun menurun meneruskan tradisi keluarga. “Selain silat dan bercocok tanam, saya juga sekaligus beternak kambing dan sapi. Yang namanya tradisi kampung maka harus dilestarikan, yang penting halal,” kata dia kepada senibudayabetawi.com beberapa waktu lalu.
Menurut lelaki yang akrab disapa Bang Ogi ini, jauh sebelum menjadi pasar bunga terbesar se-Asia Tenggara, masyarakat Rawabelong telah lama nanem puun atau bercocok tanam. Lelaki yang juga menjabat sebagai Forum Komunikasi Budaya Betawi (FKBB) ini banyak mendapat petuah dan wejangan dari sang kakek untuk menjadi sebagaimana orang Rawa Belong terdahulu.
“Engkong saya pernah bilang, mau hidup seneng apa kaya? Dia ngasih wejangan orang kaya belum tentu seneng, sebaliknya orang seneng pasti kaya,” kata dia lantas tertawa.
Eksistensi Kampung
Ya, tak mudah bagi Bang Ogi untuk tetap eksis dan konsisten melestarikan tradisi kampung Rawabelong di tengah gempuran arus modernisasi. Tak ayal, pemandangan “kampung” yang utuh dalam kenangan Bang Ogi sudah tak bisa ditemui untuk saat ini. Misalnya kebiasaan emak-emak dan anak-anak mengaji ketika menjelang magrib.
“Mereka bahkan tak lagi keluar karena ditakut-takuti ada wewe dan setan, khusukngaji. Beda dengan sekarang yang malah nonton sinetron dan klayapan ke luar” ungkap lelaki berusia 44 tahun ini.
Tradisi silat dan ngaji memang tak bisa dilepaskan dalam Budaya Betawi. Dalam buku Maen Pukulan dan Pencak Silat Khas Betawi, GJ. Nawi mengungkapkan bahwa tradisi pada zaman dahulu, tepatnya menjelang malam, anak lelaki Betawi “dibuang ngaji” di langgar untuk membaca Al-Quran dan maen pukulan. Pantang bagi anak laki-laki berada di rumah karena dianggap tak wajar.
Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyatakan bahwa Rawabelong berasal daridua suku kata, yakni Rawa dan Balong. Rawa merupakan daerah yang digenangi air dan biasanya bertanah subur—sedangkan belong berasal dari kata balong yang menunjukkan empang. “Itu berarti tanah sawah yang berlubang-lubang dan biasa dimanfaatkan orang-orang sekitar untuk bercocok tanam,” kata dia kepada dikonfirmasi terpisah.
Menurut Bang Yahya, tradisi silat, bercocok tanam dan berdagang secara umum merupakan tradisi sebagian besar kampung sebagaimana karakteristik masyarakat agraris. Untuk mencukupi kebutuhan keseharian, mereka harus bercocok tanam dan berternak yang kemudian hasilnya dijual. Sedangkan untuk olah fisik, mereka mempunyai maenan pukulan atau silat.
Sementara kawasan pasar bunga Rawabelong muncul sekitar tahun 1980 karena kemunculan para komunitas etnis Tionghoa pada masa Imlek hingga akhirnya membentuk pasar di sana. “Mereka berdatangan—termasuk pada masa-masa Imlek untuk mencari ikan bandeng dan bunga hingga akhirnya membentuk pasar itu,” jelasnya. admin