Perjalanan Dicksy Iskandar
Sosok-sosok perempuan Betawi dengan kostum warna hijau membawa rebana tampak mencolok dipamerkan di depan rumah Dicksy Iskandar. Enam sosok perempuan berhijab hijau itu tampak seolah menyambut siapa saja yang bertandang ke rumahnya.
Senada, senyum hangat menggurat di wajah lelaki gondrong itu begitu kami berkunjung. Senyum ramahnya berhasil mengelabuhi usia asli Dicksy yang tak lagi muda. Namun, alih-alih berhenti dari dunia yang membesarkan namanya, dunia seni rupa itu, lelaki berusia 77 tahun ini memilih setia. Hingga ia merekam Betawi melalui nada dan rupa.
“Lebih tepatnya hutang terhadap kehidupan,” kata dia kepada senibudayabetawi.com beberapa waktu yang lalu.
Kalimat itu tampak sederhana, tapi ternyata memiliki makna mendalam. Khususnya terkait perjalanan panjang lelaki kelahiran Sumbawa ini hingga akhirnya “terdampar” di Jakarta. Perjalanan yang akhirnya mampu mempertemukan pada rupa Betawi sesungguhnya.
“Saya mencoba mengungkapkan dengan gambar. Kalau kita bisa mengungkap tentang tari-tariannya maka harus tahu pula tentang kuliner hingga pencak silatnya,” ujarnya.
Sejak memutuskan untuk mengikuti “getaran alam”–yang membuat keluar dari tanah kelahirannya, Dicksy sempat beberapa kali pindah dari Bali, Solo, Yogyakarta. Terakhir, ia kemudian menambatkan hati di Jakarta.
Berbagai pengalaman dalam dunia seni membuat Lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta tahun 1962 ini mengarungi dan mencapai banyak hal. Beberapa kali ia meraih juara Lomba Poster Nasional (1982-1985, 1988, dan 1992). Pencapaian terbesar tingkat Internasional juga pernah ia raih untuk kategori Poster Perlucutan Senjata di PBB tahun 1982.
“Baru setelah lulus, bersama teman-teman di Jakarta saya membuat sanggar bernama Krakatau dan menggebrak kursus drawing yang mereka kebanyakan cewek-cewek,” kata lelaki yang pernah membuat lukisan konfigurasi dengan melibatkan 5.500 pelajar di Stadion Senayan (1982-1996) ini.
Nada dan Rupa
Memaknai Betawi, khususnya bagi Dicksy bukan semata karena Betawi sendiri yang kompleks dengan beragam keseniannya. Namun, ternyata ia memiliki pengalaman personal melalui musik yang akhirnya membuatnya jatuh cinta.
Melalui gubahan biolanya dalam Cente Manis, ia berhasil meraih penghargaan sebagai pemenang dalam tiga tahun berturut-turut yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan. “Kita memang pernah menggeluti langgam Betawi itu. Semenjak itu pula saya jadi senang dengan Betawi,” ujarnya.
Sebuah lukisan memilikipengalaman masing-masing dalam setiap prosesnya. Bermula dari nada-nada itu pula, Dicksy mampu mencurahkannya menjadi lukisan. Terbukti, nada E minor yang pernah ia mainkan dari petikan gitar selama hampir lima jam sebagai pengiring hadrah mampu melahirkan sebuah lukisan. “Getaran itu yang saya cari,” ujarnya.
Kendati telah lama tinggal di Jakarta, Dicksy juga banyak belajar dengan pelukis Betawi lain seperti Sarnadi Adam yang tak lain adalah adik tingkatnya. Dicksy memang mencintai Betawi, tapi tak lantas membuatnya menjadi epigon—sekadar meniru yang sudah ada. Namun, dengan ciri khasnya sendiri, ia merekam Betawi. admin