Nasi Ulam, Kuliner Betawi dari Beragam Akulturasi

Semarak Nasi Ulam untuk Semua

“Kuahnya banjir ya”.

Permintaan itu nyaris sering kali terdengar begitu pelanggan menyerbu warung Nasi Ulam untuk semua Khas Betawi H. Nana yang bertempat di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat.

Jam makan siang menjadi jam paling sibuk—pelanggan yang kebanyakan etnis Tionghoa antre demi sepiring nasi ulam. Aroma gurihnya bakwan udang menyeruak—mengundang mereka mampir. Tak peduli dengan antrean panjang yang mengular. Nasi ulam untuk semua.

Bang Ali, sebagai generasi keempat bergantian dengan Haji Nana untuk menjalankan roda bisnis keluarga itu. Tangannya yang cekatan itu nyaris tak pernah berhenti–meracik bihun goreng, timun serundeng kelapa, kacang, dan kerupuk, daun kemangi sebelum akhirnya disiram kuah berwarna cokelat itu.

“Seperti kuah semur tapi lebih gurih dan manis,” kata dia kepada senibudayabetawi.com membeberkan rahasia warung yang terkenal sejak 1983 itu.

Ia pun tak menyangka bahwa nasi ulam yang dijalankannya sejak tahun 1993 ini masih tetap eksis hingga sekarang. Maklum saja, sejak saat itu, ia telah resmi dipercaya sang nenek untuk menjalankan, termasuk meracik bumbu yang telah diturunkan oleh sang nenek. “Justru mereka sudah mempercayakan ke saya hingga sekarang. Bisa diterima semua lidah sih,” kata dia.

Mei Budi, salah satu pengunjung mengungkap bahwa kuah nasi ulam di sini memang juara karena rasanya yang tak bikin eneg dan rempahnya terasa. “Beda dengan nasi ulam pada umumnya. Makanya suka minta dobel kuahnya,” kata dia.

Perempuan berhijab ini mengaku hampir tiap hari, sepulang kerja selalu membeli nasi ulam tersebut. Selain rasanya yang nikmat, ia mengaku pencinta kuliner Betawi.

“Hampir tak pernah kecewa sih kalau sama kuliner Betawi. Kita lihat seperti Soto Betawi hingga nasi ulam, semuanya kaya rempah, cocok dengan lidah saya,” jelasnya.

Seporsi nasi ulam lengkap dengan toping nan meriah langsung saja tersaji di depan meja makan. Jika pelanggan menginginkan lauk yang lengkap, tersaji beberapa pilihan seperti tempe, dendeng, bakwan udang, perkedel, dan telur dadar.

Nasi Ulam

Ya, nasi ulam memang sajian khas Betawi. Namun, rasanya tetap berterima pada semua lidah—Betawi, Tionghoa maupun yang lainnya. Bang Ali sendiri mengaku bahwa pelanggan dari kalangan Tionghoa bahkan lebih banyak dibanding orang Betawi.

Dalam Bahasa Betawi, ulam merupakan penyebutan untuk serundeng dari kelapa parut yang ketika diaduk dengan nasi putih panas akan memunculkan cita rasa gurih dan sedikit pedas di lidah.

Dalam itus Lembaga Kebudayaan Betawi, disebutkan bahwa nasi ulam merupakan perpaduan kuliner dari berbagai budaya. Nasi putih bertaburkan serundeng kelapa dan kacang merupakan pengaruh dari India. Semur dan perkedel merupakan pengaruh dari Belanda. Sementara bihun goreng dan dendeng manis dipengaruhi kuliner Tionghoa.

Nasi ulam mempunyai dua varian jenis, yakni varian kering dan basah. Adapun untuk nasi ulam variasi kering berasal dari Jakarta Selatan. Sementara variasi basah berasal dari Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.

Selain kuah semur menjadi pembeda antara dua variasi nasi ulam ini, komposisi kedua variasi ini berbeda. Nasi ulam variasi basah terdiri atas nasi putih, bihun goreng, perkedel, dendeng sapi manis, dan cumi kering asin. Sementara nasi ulam varian kering yakni nasi putih dicampur serundeng serta tambahan pelengkapnya seperti dendeng, sambal goreng telur, dan tempe-tahu goreng.

Selain Betawi, nasi ulam juga dapat ditemukan dalam kuliner masyarakat Suku Melayu di Sumatra dan Bali. Sesuai

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.