Palang pintu yang selama ini kita kenal biasa dimainkan oleh lelaki Betawi. Namun, ternyata palang pintu perempuan merupakan hal yang lumrah di Kampung Sawah, Bekasi. Terutama bagi Komunitas Palang Pintu Sedulur Napiun Kampung Sawah. Dari sini juga kita bisa memaknai palang pintu perempuan.
Bikin sambal pakai terasi// Enak dicocol ama ketupat// Dirgahayu Kota Bekasi// Hari Jadi ke dua puluh empat
Sebuah pantun terlontar begitu saja dari mulut Anthonia Melani Kurniati atau akrab disapa Mpok Lani kepada senibudayabetawi.com. Begitu spontan karena bertepatan juga dengan Hari Jadi Kota Bekasi yang jatuh pada hari ini, Rabu (10/3).
Ia tak pernah mengira, sembilan tahun keterlibatannya dalam palang pintu yang biasa dimainkan oleh lelaki Betawi, ternyata bisa diterima oleh banyak kalangan. Terutama di wilayahnya sendiri, Kampung Sawah yang terkenal akan toleransinya yang tinggi. Tak hanya soal agama, tapi juga budaya.
Kampung Sawah memang telah dikenal sebagai Indonesia kecil. Konon, mereka datang dari berbagai etnik berbeda sejak abad ke-19 berkumpul dan tumbuh bersama dengan nilai toleransi yang tinggi. Sehingga, nilai-nilai Betawi yang dimiliki oleh adat setempat berkembang sedemikian rupa.
Mpok Lani tak sendiri. Ia bersama keluarganya yang tergabung dalam Komunitas Palang Pintu Sedulur Napiun membuktikan bahwa perempuan juga turut andil dalam pelestarian seni budaya Betawi. Adapun Napiun merupakan nama salah satu marga keluarga di Kampung Sawah.
Awal mula keterlibatan para perempuan dalam palang pintu bisa dibilang karena ketidaksengajaan. “Pada satu acara pernikahan saudara di Kampung Sawah, tepatnya di tahun 2012 karena menghargai Betawi maka kita pakai palang pintu. Namun, saat itu abang-abang kita pada tidak mau ngapalin pantun buat palang pintu. Jadi kita yang perempuan yang maju,” ujarnya.
Tak Hilangkan Pakem
Kendati melibatkan perempuan dalam tradisi Betawi, khususnya dalam berbalas pantun, Mpok Lani mengungkap tak akan menghilangkan pakem yang ada di dalamnya. Misalnya, tradisi berbalas pantun, adu silat dan baca doa. Hanya, ia beserta komunitasnya yang kebetulan beragama Katolik menyesuaikan dengan doa yang ada. “Kita Non Muslim, jadi biasanya alunan rebana dan ayat-ayat suci Al-Quran diganti pakai doa non Muslim,” kata dia.
Selain biasa main di acara pernikahan, komunitas ini juga biasa main di Sedekah Bumi acara Gereja Katolik Kampung Sawah, dan juga Misa Pembukaan Temu Bapa Uskup Seregio Jawa di Puspas Samadi, Kleder pada 30 Mei 2017. Adapun pantun yang diujarkan disesuaikan dengan acara yang ada.
Mpok Lani sendiri mengaku eksistensi komunitasnya tak lain karena keberterimaan lingkungannya, yakni Kampung Sawah. Sebab, karena rasa toleransi yang tinggi itu membuat mereka semakin kekeuh bahwa kontribusi perempuan terhadap seni budaya Betawi itu selalu ada. Ada kesetaraan antara lelaki dan perempuan.
“Dari sini kita bisa memaknai palang pintu perempuan ngga asal palang pintu juga. Kita diterima saja di sini, tidak ada pro kontra sama sekali,” kata dia. admin