Tanah Abang dan Tradisi Betawi– Nuansa semarak menyambut Lebaran mulai terlihat. Nuansa tersebut juga ternyata telah menjadi tradisi orang Betawi zaman dahulu. Misalnya persiapan sajian kue-kue kering hingga pakaian baru. Demikian pula di Tanah Abang yang terkenal sebagai pusat tekstil sejak dulu. Riuh rendah ‘perayaan jual beli’ pakaian baru di sini kian menggeliat.
Sejarah Tanah Abang tak lepas dari pasca pembantaian warga Tionghoa (1740) di Glodok, yang kemudian sebagian besar mereka tinggal di Tanah Abang. “Tepatnya mereka dulu di Jalan Abdul Muis. Sedangkan orang Arab lebih banyak tinggal di kawasan Jalan Kebon Kacang,” ujar Doni, salah satu penjual penjual pakaian di Tanah Abang kepada senibudayabetawi.com, Kamis (29/1).
Mereka—baik orang Tionghoa maupun Arab dikenal gemar berdagang. Tak ayal jika kini di kawasan Tanah Abang banyak beralih fungsi toko dan gudang tekstil. Bahkan Tanah Abang dikenal sebagai sentra pusat tekstil yang banyak didatangi pedagang dan pembeli dari berbagai negara.
Doni mengaku tahun ini pasar lebih ramai dibanding tahun sebelumnya. Tahun ini, ia bisa menjual dua lusin pakaian atau 24 item pakaian. “Itu belum kerudung atau aksesoris lainnya. Puncak ramai saat akhir pekan gitu,” ujar lelaki berusia 36 tahun ini.
Semarak menyambut Lebaran—menurut Ridwan Saidi juga dirasakan oleh masyarakat Betawi. Tanah Abang sejak dulu menjadi “jujugan” mereka untuk membeli pakaian baru. Tanah Abang dan tradisi Betawi– “Bahkan 15 hari menjelang Lebaran, orang Betawi sudah persiapan pakaian baru, apakah itu untuk mereka sendiri, anak-anak hingga bapak-bapaknya,” ungkapnya.
Persiapan Kue Lebaran
Tak hanya soal pakaian baru, ibu-ibu Betawi juga mempersiapkan kue-kue sajian Lebaran. Zaman dulu, lanjutnya pantang bagi perempuan Betawi untuk membeli, tapi membuat kue sendiri. Beragam sajian mulai dari kue basah yakni dodol, geplak, wajik hingga kue kering kerap kali menghiasi meja-meja sajian mereka.”Itulah semaraknya kita menjelang Lebaran,” tegasnya.
Dalam pembuatan kue-kue khas Lebaran, biasanya ibu-ibu juga dibantu oleh suaminya. Misalnya, dalam pembuatan dodol Betawi yang memang terkenal sulit. Dulu, sambungnya bahkan dua hingga tiga keluarga bergabung membuat bersama. “Mulai dari membuat tepung ketan, mengupas kelapa lalu memarutnya hingga proses mengaduk dodol in ikan butuh tenaga lelaki,” ujarnya. (dan)