“Itupun (mengarak Ondel-ondel) dilakukan untuk latihan fisik saat ada event. Untuk memastikan kekompakan harmonisasi musiknya juga. Bukan mengamen,”
Sepasang Ondel-ondel kayu menjadi saksi perjuangan Sanggar Beringin Sakti. Terbilang langka, sebab tak semua sanggar memilikinya. Tapi sanggar ini merawatnya. Tepatnya, sejak 43 tahun , eksis sejak 1978 lalu berupaya melestarikan Ondel-ondel sebagai ikon Betawi.
Tentu, ini waktu yang tak singkat mengingat saat ini kepengurusan mulai dilakukan oleh generasi keempat, Ahmad Efendy. Sejak tahun 1978, ayahnya, yakni Babe Yasin menjadi penjaga sejatinya. Begitu pula ayah Babe Yasin, yakni Alm. Bang Padul yang juga aktif dalam kesenian Ondel-ondel.
“Dulu namanya Grup Barongan Bang Padul. Bukan kaya sekarang yang disebut sanggar,” ujar Babe Yasin kepada senibudayabetawi.com, Selasa (15/6).
Sebelum oleh Alm Benyamin Suaeb diperkenalkan sebagai Ondel-ondel, nama boneka raksasa ini yaitu barong. Penyebutan barong juga tak lepas berawal dari kesenian ini yang selalu dimainkan bebarengan–dalam grup. “Orang Betawi suka dengan singkatan-singkatan. Maka dari situlah disebut barong,” lanjutnya.
Sanggar Beringin Sakti tentu bukan pemain lama dalam kesenian Ondel-ondel. Beragam penghargaan dan prestasi ditorehkan. Beberapa diantaranya sanggar ini pernah mengirimkan Ondel-ondel ke Jepang sebagai bentuk pertukaran budaya. Kemudian, pernah terlibat dalam pembuatan salah satu film yang ditayangkan di Australia memakai Ondel-ondel raksasa.
Pementasan pun juga kerap kali dilakukan, baik di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) maupun di Ancol. Demikian, mereka juga biasa mentas dalam acara-acara penyambutan pejabat negara.
Sesuai namanya, muasal nama Beringin Sakti tak lepas dari harapan yang menyertainya. Beringin, sambung Babe Yasin berarti pohon yang kuat dan kokoh sedangkan Sakti berarti tak terkalahkan. “Harapannya semoga sanggar ini bisa kokoh dan kuat, tak punah,” ungkap lelaki berusia 62 tahun ini.
Menjaga Marwah
Belakangan tak terdengar lagi tindak tegas yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) dalam menindak Ondel-ondel mengamen sejak dilakukan pada Maret lalu. Padahal, menurut Bang Ahmad Efendy itu merupakan langkah tepat menjaga Marwah Ondel-ondel.
Melihat nasib Ondel-ondel yang mengamen di jalanan, ia merasa miris. Alih-alih mengamen, Ondel-ondel dahulu sekadar arak-arakan menghibur masyarakat di kampungnya masing-masing. Bukan demi kejar setoran para oknum tak bertanggungjawab. “Itupun (mengarak Ondel-ondel) dilakukan untuk latihan fisik saat ada event. Untuk memastikan kekompakan harmonisasi musiknya juga. Bukan mengamen,” ujarnya.
Mengarak Ondel-ondel bukanlah perkara mudah jika tak latihan fisik terlebih dahulu. Salah-salah, pemain Ondel-ondel bisa pingsan. Selain kondisi di dalam Ondel-ondel yang pengap, tak jarang jarak tempuh arak-arakan sangat jauh. “Maka kita biasa latihan keliling kampung kita sendiri. Jadi tak keluar kampung. Kalau penonton suka maka ngasih makan atau uang. Jadi sama sekali tak minta,” jelasnya.
Bang Aluwy, anak Babe Yasin juga sepakat. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat keputusan akan kepastian nasib pegiat seni Ondel-ondel. Ikon Jakarta bersifat sakral dan harus dijaga marwahnya. “Jangan sampai karena citra Ondel-ondel saat ini yang buruk juga akan berimbas pada pegiat seni yang sebenarnya,” ujarnya.