Sanggar Pusaka Tiga Saudara tak Kendor Lestarikan Tanjidor— Engkong Ipong, Na’ih dan Ma’ah. Begitulah nama tiga punggawa Sanggar Senior Pusaka Tiga Saudara. Merupakan kebahagiaan tersendiri di usianya yang telah senja, mereka sempat sepanggung memainkan tanjidor bersama anak cucunya.
Jumlah sanggar tanjidor di Jakarta boleh saja langka. Terhitung sanggar besar yakni Sanggar Putra Mayang Sari Cijantung dan Sanggar Pusaka Tiga Saudara. Mereka bukanlah sanggar baru yang secara instan mendirikan sanggar. Namun, sejak lintas generasi memainkan tanjidor dari waktu ke waktu. Sanggar Pusaka Tiga Saudara misalnya. Kendati telah beranak pinak, generasi pertamanya, yakni tiga bersaudara masih lengkap bermain tanjidor bersama.
Bermarkas di Jalan Kenanga 2 RT 1 RW 2 No 41, Kelurahan Kalisari, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, sanggar ini berlatih. Saat senibudayabetawi.com berkunjung, tampak semua personil lengkap tepat waktu yang dijanjikan. Maklum saja, rumah mereka berdekatan karena masih terhitung keluarga.
Demikian pula saat ada panggilan manggung, dengan gesit mereka berkumpul on time. “Makanya kalau dulu sanggar kita terkenal tepat waktu. Cepat ngumpulnya,” ujar pimpinan Sanggar Pusaka Tiga Suadara, Ma’ah Pie kepada senibudayabetawi.com.
Rumah Saksi Perjuangan
Mengungjungi rumah Ma’ah Pie laksana dihadapkan pada perkembangan tanjidor dari waktu ke waktu. Bagaimana tidak, deretan foto-foto pentas tanjidordari dulu tampak memenuhi tembok depan rumahnya. Tampak personil Sanggar Pusaka Tinga Saudara berpose dengan tokoh-tokoh terkenal dari kalangan pejabat, gubernur hingga artis, seperti Dewi Persik. Ya, rumah yang juga sanggar itu menjadi saksi perjuangan grup tanjidor mereka.
“Kita kalau ngumpul yaudah ke sini semua berlatih dari dulu,” imbuh dia.
Kakak tertua dari tiga bersaudara itu, Engkong Ipong menyebut jauh sebelum ada Sanggar Pusaka Tiga Bersaudara, kakeknya, H. Risin sejak tahun 1920-an telah memainkan tanjidor. Darah seninya menurun ke ayah hingga ia bersama dua saudara lainnya. Sembari mengenang, Engkong Ipong menyatakan bahwa sejak SD lebih memilih main tanji dibanding sekolah. “Mungkin karena main tanji dapat uang, kalau sekolah kan kaga,” ujar lelaki berusia 81 tahun ini.
Tak Kendor Lestarikan Tanjidor
Ia tak menyangkal bahwa bermain tanjidor terkenal susah. Terutama alat musik tiupnya. Tapi, ia beserta keluarganya mempelajari secara otodidak saja. “Kalau sekolah untuk alat musik tiup saja bisa tiga tahun lamanya,” imbuh kakek bercucu 15 ini.
Mengutip laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), tanjidor merupakan alat musik dari Eropa yang dibawa saat zaman kolonial. Sejarahnya, tanjidor sering dimainkan para budak yang ditugaskan menghibur para majikan. Para budak ini membentuk perkumpulan musik yang namanya tanjidor. Biasa dimainkan 7-10 personil, alat tanjidor terdiri dari klarinet, piston, saksofon tenor, tambur, saksofon bass, simbal, drum, serta trombon.
Dulu, tanjidor identik dengan musik Mars sebagai pengiring arak-arakan. Namun, kini mulai beradaptasi dengan lagu-lagu Betawi seperti Jali-Jali, Cente Manis, hingga Sirih Kuning.
Wahyudi, salah satu anggota Sanggar Pusaka Tiga Saudara mengungkap tanjidor masih menjadi tantangan untuk dikenal secara luas. Masalahnya, generasi muda zaman sekarang masih melabelinya dengan “musik orang tua”. Oleh karenanya, Sanggar Pusaka Tiga Saudara berikhtiar untuk merangkul lintas generasi keluarga untuk bermain bersama. Sanggar Pusaka Tiga Saudara tak Kendor Lestarikan Tanjidor. “Makanya kita memasukkan anak kecil yang juga masih kerabat keluarga. Tanjidor harus kita rawat agar tak punah,” pungkas dia.