Orkes tanjidor telah menjadi budaya khas yang dimiliki masyarakat Betawi. Terkenal membawakan lagu-lagu mars, tanjidor mulai beradaptasi dengan banyak memainkan lagu Betawi. Tak ayal jika kita sering kali mendengar lagu Jali-Jali hingga Sirih Kuning versi tanjidor. Orkes musik ini seolah mampu beradaptasi dengan lagu apapun. Salah satunya masih dilakukan dalam perjuangan Sanggar Putra Mayang Sari.
Berada di Jalan Lebak Para, RT 8/2, No 5, Kelurahan Cijantung, Pasar Rebo, Jakarta Timur sanggar ini berada. Awalnya, sanggar ini bernama Tanjidor Engkong Nya’at (1922). Sesuai dengan nama awal mula sanggar ini berdiri. Engkong Nyaat tak lain adalah kakek dari generasi kelima Sanggar Putra Mayang Sari, Sofyan Mardianta. Pada tahun 1970, sanggar ini berubah menjadi Putra Mayang Sari.
Awal Mula
Bang Sofyan mengungkap tanjidor berasal dari benua Eropa yang dibawa sejak zaman Protugis menjajah Indonesia. Dan, usai Belanda datang, Portugis kembali membawa alat musiknya. Awal mula berdirinya sanggar tanjidor tak lepas dari perjuangan sang kakek Engkong Nya’at yang belajar pada orang kepercayaan Belanda bernama Mandor Mining (1932).
“Dahulu, tanjidor dimainkan orang Belanda untuk menyambut prajurit, pengiring jamuan yang datang ke Indonesia. Saat itu orang pribumi mendengarkan, belajar secara otodidak hingga membentuk grup,” ungkap Ketua Sanggar Putra Mayang Sari kepada senibudayabetawi.com.
Orkes tanjidor terdiri atas bass drum, senar drum, tambur, simbal (bass), terompet (piston), klarinet (melodi), trombon, tenor, bass terompet. Dahulu, lagu-lagu yang dibawakan oleh tanjidor bernuansa mars Portugis. Namun, sekarang lagu-lagu tanjidor bisa mengiringi lagu Betawi. Tak ayal, kita sering kali mendengar lagu Jali-Jali hingga Sirih Kuning versi tanjidor.
Sekitar tahun 1948, Engkong Nya’at keluar dari grup tanjidor. Lalu, ia mendirikan grup sendiri. Bang Sofyan menyatakan bahwa sang kakek merupakan pemain klarinet terkenal pada masanya. Meski hanya bermain otodidak, ia terkenal tak pantang menyerah. Bahkan, ketika tidur Engkong Nya’at rela menggantung jari jemarinya di atas ranjang tingkat agar tangannya lentur dalam bermain. Selain itu, ia juga mengalap berkah dengan berziarah ke makam keramat setempat. “Kalau zaman dahulu orang kebanyakan cari berkah ke makam (keramat),” ujar lelaki yang juga bekerja sebagai trainer di salah satu perusahaan ritel ini.
Mandiri
Siapa sangka, darah seninya menurun dari sang kakek ke generasi-generasi selanjutnya. Riwayat Sanggar Putra Mayang Sari pasca Engkong Nya’at meninggal diteruskan oleh Boris bin Nya’at, lalu ke Udin bin Boris, lalu ke Mardianta bin Nya’at (ayah Bang Sofyan). “Lalu bapak saya meninggal karena stroke pada 2020 kemarin, dan saya penerusnya,” ujar dia.
Kendati darah seni mengalir deras di keluarga Engkong Nya’at, sekalipun tak membuat keluarga Sofyan terlalu menggantungkan pendapatannya pada bermain tanjidor. Hal itu yang ia ajarkan pula pada anak-anaknya. “Karena bermain tanji ini kan tidak pasti. Kalau ramai ya ramai, kalau sepi seperti COVID ini yaudah,” ujarnya.
Penting, lanjut dia untuk memastikan mindset terutama pada generasi muda zaman sekarang agar tak semata menjadikan orkes tanjidor sebagai pekerjaan utama. Ia menyoroti bahwa anak-anak zaman sekarang sudah lebih aware untuk menghargai kesenian tanjidor. “Tapi yang perlu ditegaskan tanjidor ini sebagai hobi atau pekerjaan utama, Ini yang harus dipastikan.” tuturnya.
Seperti pengalaman yang ia dan grup sanggarnya rasakan. Di awal-awal pandemi, imbas yang dirasakan sangat terasa. Selama sebulan hanya mendapat satu atau dua event saja. Perjuangan Sanggar Putra Mayang Sari tak berhenti. Beberapa anggota sanggar harus rela banting setir untuk mencari penghasilan lain. “Misalnya ada yang pernah jualan handzinitizer juga asal kita tetap berjuang,” ungkapnya
meskipun bukan dari betawi, tapi sangat suka dengan kesenian khas betawi dan kulinernya