Sebagian besar kampung di Betawi sepakat menyebut silat atau maen pukulan dengan istilah ‘jajanan pasar’—mengartikan suatu hal yang bersifat umum. Atau orang Betawi pinggiran kerap kali memakai istilah kamprah. Demikian pula maen pukulan berkembang di kawasan Jakarta Timur. Salah satunya terangkum dalam riwayat Perguruan silat Baba Sa’adu di Cipinang Utara.
Adalah Bang Abdul Jawad yang selama ini meneruskan perjuangan silat dari ayahnya, Baba Sa’adu. Sejak kecil, Bang Abdul Jawad senantiasa mengikuti ayahnya yang bermain Empat Langkah Lima Pancer. Bekal ini jugalah yang membawa Bang Jawad untuk mengembangkannya.
“Setelah saya diskusi dengan ncang, orang tua juga maka saya kembangin tuh menjadi kombinasi. Jadi bukan Empat Langkah Lima Pancer saja,” ujarnya kepada senibudayabetawi.com, Kamis (24/6).
Niat Bang Jawad mengembangkan menjadi silat kombinasi bukan tanpa alasan. Ia melihat potensi silat kombinasi membuka peluang potensi prestasi murid-muridnya. Alhasil, di tahun 2018 ia resmi menggabungkan silat Empat Langkah Pancer, Silat Cimande dan silat Banten dalam Perguruan Silat Baba Sa’du.
“Jadi prestasinya dapat, tradisinya juga tidak hilang begitu saja,” ujar anak terakhir Baba Sa’du ini.
Selain memastikan murid-muridnya tetap berprestasi, ia juga memastikan anak-anak berlatih silat sejak dini. Hal ini penting, sambungnya mengingat anak perlu dibentuk mentalnya agar lebih berani. Selain itu, tentu agar anak-anak tidak terjerumus dalam pergaulan bebas zaman sekarang. “Biar anak bisa lebih percaya diri. Termasuk ketika pentas di depan,” ujar dia.
Kebanyakan, murid-muridnya memang anak-anak di usia 6-7 tahunan. Tentu, tak gampang untuk melatih anak-anak dibanding orang dewasa. “Namun, kita berusaha untuk sabar, mengikuti apa kemauan mereka dulu,” imbuh dia.
Ia juga memastikan pada murid-muridnya agar olah fisik berupa silat harus diimbangi dengan olah jiwa. “Yang penting juga akhlaknya, adabnya. Baru masuk ke power, teknik maen pukulnya,” pungkas dia.