Riwayat Petasan— Semarak dan meriah. Begitulah kiranya citra petasan. Petasan akrab dalam masyarakat Betawi. Berbagai pertuntukkan nyaris tak lengkap tanpa kehadirannya. Mulai dari hajatan kawinan, khitanan, Maulid Nabi, hingga acara Isra’ Mi’raj. Bahkan, banyak juga bermunculan manusia petasan.
Tak sekadar memeriahkan acara, petasan juga berfungsi sebagai kode undangan hajatan antar kampung. Begitu ada kampung yang mempunyai hajatan dan diikuti petasan pasti akan diketahui kampung lain. Bunyi petasan yang meriah mampu menarik perhatian hingga kampung-kampung lain bertanya-tanya kampung mana dan siapa yang punya hajat. Dari situlah mereka berbondong-bondong ke tempat hajatan.
Menurut H. Irwan Sjafi’e ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB),banyaknya petasan yang dinyalakan dalam satu hajatan juga bisa menunjukkan status sosial. Itu artinya, semakin banyak petasan, ia akan semakin banyak menerima pujian.
Tradisi riwayat petasan tak lepas dari pengaruh etnis Tionghoa yang tinggal di Batavia. Konon, petasan di daratan Cina biasa digunakan sebagai pengusir setan, jin, hingga iblis. Ridwan Saidi dalam Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadat (2004), menyebut bahwa daratan Cina pernah diserang wabah penyakit. Naas, wabah itu menjalar cepat hingga banyak korban berjatuhan.
Menurut keyakinan etnis Tionghoa, wabah penyakit itu disebabkan oleh setan, iblis serta jin yang murka pada ulah manusia. Mereka berinisiatif mengusirnya dengan memukul benda-benda bersuara nyaring, seperti tambur hingga seng.
Bunyi-bunyian itulah yang juga menginspirasi mereka untuk menciptakan petasan. Petasan bisa ditimpuk serta dilempar di berbagai tempat untuk menakut-nakuti setan. Siapa sangka, tradisi ini masih terus dilanjutkan imigran Cina ke Tanah Batavia.