K.H . Abdullah Syafi’ie, Ulama Betawi — dalam dunia Internasional membawa pengaruh besar. Siapa sangka, ulama Betawi inilah yang juga menggemakan dakwah dan Pendidikan Islam melalui pembaruan radio. Ia eksis berdakwah dan menyebarkan syiar Islam pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Berikut profil, Pendidikan, dan kiprah K.H. Abdullah Syafi’ie.
Profil K.H . Abdullah Syafi’ie
KH. Abdullah Syafi’ie merupakan putra dari H. Syafi’ie bin H. Sairan dan Nona binti Sa’ari yang merupakan pengusaha kelahiran Betawi. H. Syafi’ie bin H. Sairan merupakan pengusaha grosiran mangga tinggal di Kampung Balimatraman, Tebet, Jakarta Selatan.
H. Syafi’ie bersama istrinya Nona binti Sa’ari mempunyai tiga orang anak. Pada tanggal 10 Agustus 1910, Abdullah dilahirkan sebagai anak pertama. Abdullah memiliki dua saudara, yaitu Rogayah dan Aminah. Nona binti Sa’ari meninggal pada usia yang relatif masih muda, sehingga suaminya H. Syafi’ie menikahi Siti Chodijah dari Kampung Celilitan. Sayangnya, dari pernikahannya yang kedua itu, H. Syafi’ie tidak dikaruniai seorang anak hingga dipanggil menghadap Allah Swt.
Mengenyam Pendidikan Agama
Selama belajar agama, Abdullah tak pernah sekalipun keluar dari Jabodetabek. Kendati demikian, pemikirannya sangat progresif. Ketika usianya 17 tahun, Abdullah Syafi’ie belajar di langgar partikelir. Setahun kemudian, ia berinisiasi membangun tempat belajar agama bersama teman-temannya di bekas kendang sapi ayahnya.
Tempat itulah yang kemudian dijadikan lokasi untuk mendirikan madrasah pertama yang berdiri pada tahun 1928. Pada usia 21 tahun, Abdullah Syafi’ie telah memiliki sertifikat pendidik atau beslit dari rachen scahf sebagai pertanda kelayakan menjadi guru. Di madrasah yang telah didirikan, beliau bersama istrinya Rogayah mengajarkan ilmu[1]ilmu agama, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlak, dan ilmu[1]ilmu lainnya.
Salah satu kebiasaan Abdullah Syafi’ie yang sampai sekarang masih diteruskan oleh putra-putri dan santrinya adalah setiap selesai shalat, memimpin dzikir, seperti membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan seperti juga pada umumnya ulama Betawi di acara tertentu membaca ratib Hadad. Ratib ini biasanya disebut dengan “wirid Betawi” karena tidak ditemukan pada komunitasetnis lainnya, dan juga selalu dibaca dalam kegiatan keagamaan yang penting seperti pada saat mengantar orang naik haji.
Aktif dalam Dakwah melalui Radio
Selain mendirikan masjid, yakni Masjid Al-Barkah (1933), K.H . Abdullah Syafi’ie, Ulama Betawi juga aktif berdakwah melalui radio. Tak ayal syiar yang ia dengungkan tersebar sangat luas. Oleh karena itu, tepatnya tahun 1967, setelah mendirikan madrasah dan Akademi Keguruan Pendidikan Islam (AKPI), beliau bersama dengan para mahasiswa mulai mendirikan pemancar radio.
Salah satu tujuan didirikannya pemancar tersebut adalah agar ummat terbentengi dari kekuatan komunis. Orang-orang komunis telah mendirikan Universitas Rakyat (UR) yang didirikan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan memiliki pengaruh yang cukup kuat kala itu. Abdullah Syafi’ie memanfaatkan media radio tersebut sebagai sarana dakwah untuk menanamkan pengetahuan[1]pengetahuan Islam, dan menjauhkan dari larangan[1]larangannya seperti perilaku judi, mabuk-mabukan, serta perilaku yang berpotensi untuk menghancurkan keimanan ummat Islam.
Puncaknya, belum setahun berdiri radio tersebut telah mampu menggiring puluhan ribu umat Islam untuk menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw di lapangan Istora Senayan Jakarta. Acara ini dipelopori oleh perguruan As[1]Syafi’iyah. Ini menjadi bukti bahwa keberadaan radio ini telah menyedot perhatian berbagai kalangan ummat Islam di Jakarta ketika itu.
Mendirikan radio di era 60- an merupakan hal yang langka sehingga patut disebut sebagai salah satu bentuk pembaruan di bidang dakwah. Pemancar radio As-Syafi’iyah ini bahkan merupakan stasiun radio siaran swasta pertama di Jakarta. Ada sejumlah alasan Abdullah Syafi’ie mendirikan pemancar radio ini, yaitu masih banyak para alim ulama yang kehidupannya jauh dari perkembangan teknologi.