Sejarah Seserahan dalam Perkawinan Adat Betawi – Perkawinan tak sekadar ikatan resmi sebuah hubungan. Terdapat nilai-nilai adat yang kental di dalamnya. Temasuk tradisi pemberian seserahan sebelum pesta perkawinan.
Secara umum, dalam perkawinan adat Betawi mengenal tradisi memberikan seserahan, yakni hantaran dari mempelai laki-laki ke perempuan. Biasanya seserahan tersebut berupa uang, makanan, bahan mentah, perlengkapan perempuan, peralatan dapur. Ditambah pula, dalam Siklus Betawi: Upacara dan Adat Istiadat Yahya Andi Saputra berupa mahar, sirih nanas, roti buaya, peti Shie, Jung, Kekudang, Pesalin, serta Pelangkah .
“Yang pasti tidak ada batasan dalam pemberian seserahan. Itu artinya bergantung kesanggupan mempelai laki-laki,” ujarnya kepada senibudayabetawi.com, Senin (9/8).
Konon muasal tradisi seserahan berawal sejak zaman Vereenigde Oost Compagnie (VOC). Tepatnya di bawah pimpinan Jan Pietersszoon Coen sebagai gubernur Hindia Belanda (1557-1629) yang ingin membangun masyarakat Kolonial Batavia secara permanen.
Seserahan tersebut digunakan sebagai jaminan keamanan bagi gadis yang akan didatangkan ke Hindia Belanda yang berupa seperangkat busana. Mereka akan “menikah dan baik-baik”. Setelah menikah, mereka masih diberi tambahan berupa pakaian rumah tinggal, serta uang ekstra untuk memenuhi kebutuhan.
Perempuan-perempuan ini diwajibkan tinggal selama lima belas tahun di Hindia Belanda. Sejarah seserahan dalam perkawinan adat Betawi tak jauh berkaca pada hal ini. Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia: Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur Jakarta mengungkap tradisi di masa VOC ini kemudian dilanjutkan pada masyarakat Batavia.
Namun, masyarakan pribumi menerapkan seserahan sebagai simbol melindungi pasangan. Dengan adanya pemberian jaminan kehidupan pernikahan yang terwakili dengan tercukupinya kebutuhan sandang, pangan dan papan. Atau istilahnya tanggung jawab antara mempelai lelaki ke mempelai perempuan.