MH. Thamrin, Tokoh Betawi Pejuang Bangsa — Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diperingati setiap tanggal 17 Agustus. Hal ini tak lepas dari perjuangan tokoh-tokoh pejuang bangsa. Khususnya dalam pergerakan nasional, nama-nama pejuang seperti Soekarno Hatta, Syahrir, Ali Sastroamijoyo, hingga Muhammad Husni Tahmrin sangat menggaung namanya. Demikian pula dengan lika-liku perjuangan mereka secara individu.
Salah satu tokoh pejuang yang memiliki perjuangan unik yakni Husni Thamrin. Adapun dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, ada pejuang yang menempuh jalur koperasi atau nonkoperasi. Jalur koperasi memungkinkan adanya kerjasama dengan pihak kolonial Belanda. Sebaliknya, jalur nonkoperasi sama sekali tak mau bekerja sama dengan pihak Belanda.
Tak sekadar dikenal sebagai pemimpin pergerakan nasional, keputusan Husni Thamrin untuk memilih jalan koperasi merupakan upaya tetap berjuang untuk kemerdekaan bangsanya. Dikenal sebagai koperator, ia merupakan sosok yang mempunyai pendirian yang ‘sangat maju’ sehingga dapat bergaul dengan kaum nasionalis nonkoperasi juga.
“Tetapi saya pun minta izin supaya kepada sidang ini untuk menceritakan apa yang diharapkan oleh ibu saya almarhum yang sederhana. beliau mengharapkan saya menjadi orang pandai, agar dapat memikirkan kehidupan bersama di sekeliling saya,” ujar Husni Thamrin dalam pidato pengangkatannya sebagai anggota Gemeenteraad Batavia pada 27 Oktober 1919 di depan siding istimewa.
“Anak Serani”
Husni Thamrin dilahirkan dari pasangan Nurkhamah dan Tabri Thamrin. Tabri Thamrin menduduki jabaran wedana di kawedanana di Batavia. Seperti anak-anak pada umumnya, Husni Thamrin belajar dan bermain dengan teman-teman sebayannya seperti mandi di Sungai Ciliwung. Kendati ia dikenal anak wedana, tak membatasinya untuk berkawan dengan anak-anak dari golongan ‘rakyat jelata’.
Sebagai anak Betawi yang kental dengan ajaran Islam, tak sekalipun membatasi menimba ilmu di manapun itu berada. Termasuk ke Bijbelschool (Sekolah Injil) di Pintu Besi atau sekolah orang ‘Serani’. Arti ‘serani’ mengacu paad istilah untuk orang-orang beragama Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Imbasnya, di kalangan teman-temannya, Husni dikenal sebagai “Anak Serani”.
Setelah lulus, Husni melanjutkan pendidikannya di Koning Willem III—sekolah setingkat HBS. Namun, ia tak menamatkan sekolahnya hingga ia memilih untuk terjun langsung ke masyarakat. Melalui Wedana Tabri Thamrin, Husni akhirnya magang di kantor Kepatihan Betawi. Sayangnya, itu juga tak berlangsung lama hingga akhirnya ia pindah bekerja sebagai ‘pemegang buku’ di perusahaan perkapalan Belanda, KPM (1914-1924). Di kapal ini pulalah ia bertemu dengan van der Zee, tokoh politik sosialis anggota Gemeenteraad Kota Betawi. Persahabatannya dengan van der Zee ini pulalah menjadi titik tolak Husni Thamrin menyalurkan semangatnya untuk perbaikan bangsa.
Husni Thamrin banyak menyampaikan ide-ide kemasyarakatan kepada van der Zee, mulai dari sector kesehatan, pendidikan hingga ekonomi. Di sisi lain, van der Zee dapat menyampaikan aspirasinya sebagai bahasan di Gemeenteraad. Salah satu persoalan buah pemikiran Husni yakni soal pembendungan banjir Sungai Ciliwung yang kemudian diinisiasi oleh gubernur jendral kala itu.
MH. Thamrin, Tokoh Betawi Pejuang Bangsa
Baik Husni maupun van derr saling percaya dan akrab hingga terbuka pengangkatan anggota Gemeenteraad yang diketuai oleh van der Zee. Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Husni Thamrin. Dan, pada 29 Oktober 1919, ia mengawali langkah sebagai pengabdi masyarakat secara resmi dalam Gemeenteraad. Dari sini pula, ia berhasil mengembangkan langkahnya menjadi pemimpin untuk merebut kemerdekaan bangsanya.
Tepatnya pada 1927, MH Thamrin ditunjuk untuk masuk ke Volksraad (Dewan Rakyat setara DPR) guna mengisi lowongan yang dinyatakan kosong. Beberapa peran Husni Thamrin semakin nyata, diantaranya ia menyokong mosi Kusumo Utoyo yang memprotes penggeledahan terhadap tokoh-tokoh PNI. Pada 27 Januari 1930, Husni Thamrin menyebut, penggeledahan itu bentuk upaya provokatif.
Selain itu, perhatian Husni Thamrin juga menyorot bidang pendidikan. Ia mengajukan mosi pengadaan pendidikan sastra di Indonesia. Berawal dari mosi itu, pada 1940 sudah ada Fakultas Sastra yang berhasil didirikan.
Pada tahun 1939, Husni Thamrin membuat wadah bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Tujuannya, ia berusaha menghimpun semua kekuatan sosial politik dari beragam bendera untuk menciptakan gagasan bersama penentuan nasib bangsa. Husni Thamrin ingin agar Indonesia mempunyai parlemen sejati dan pemerintahan yang bertanggungjawab. Bukan sekadar Volksraad sebagai penasehat.
Melalui GAPI pula, Husni Thamrin membuat Kongres Rakyat Indonesia. Hingga, ditetapkan pula bahwa bendera merah putih sebagai bendera Nasional dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.