Pagelaran Hadro Betawi

Pagelaran Hadro Betawi

Pagelaran Hadro Betawi  — Hadro Betawi diperkirakan berawal dari Jakarta Selatan sebelum akhirnya menyebar ke Jakarta Pusat. Hal ini berdasarkan jumlah dan mutu grup hadro Betawi di wilayah Jakarta Selatan yang cukup tinggi. Hadro memiliki ciri khas iramanya yang mirip dengan rebana biang, tanjidor serta topeng Betawi.

Kendati demikian, hadro tak memiliki ritual sekuat rebana ketimpring. Tidak ada lagu atau bagian dalam pergelaran hadro Betawi yang dianggap sakral layaknya Asyraqal dalam pergelaran Rebana Ketimpring. Seluruh lagunya lebih banyak menampilkan keterampilan musik dan keindahan vokal. Apabila dalam pembacaan syair.

Dalam pergelaran hadro Betawi kedua hal tersebut tidak ada. Sebagai penggantinya dibacakan atau dimainkan lagu-lagu Rebana Dor atau yalil. Rebana ini berfungsi sebagai hiburan. Rebana ini terdiri atas tiga instrumen yakni: bawa (berfungsi sebagai komando), Ganjil/Seling (pengiring), dan Gedug (pengiring). Ketiganya memiliki fungsi yang mirip.

Bawa berfungsi sebagai komando irama pukulannya lebih rapat, Ganjil/Seling yang isi mengisi dengan Bawa dan Gedug yang fungsinya mirip dengan bass. Ciri khas dari tradisi Hadro Betawi adalah Adu Zikir yaitu lomba menghafal syair-syair Diwan Hadro maupun kitab maulid lainnya.

Adapun tokoh legendaris dalam kesenian Hadro Betawi adalah almarhum Modehir yang baru meninggal sekitar tahun 1960. Pemain Hadro Betawi tuna netra ini memiliki keterampilan teknis yang baik. Jari tangan kanan maupun kirinya sedemikian hidup menghasilkan variasi pukulan yang kaya.

Mengenai cara pemukulannya, seniman Hadro Betawi menganggap sebagai over acting, yang hanya dimungkinkan diperbuat oleh seorang tuna netra. Konon, Modehir memperkaya irama pukulan Hadro Betawi terinspirasi dari suara mesin batik cap yang sehari-hari ia dengar di rumahnya.

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.