Setangan Ikat Kepala Betawi yang Pernah Menjadi Penanda Status Sosial

Setangan Ikat Kepala Betawi yang Pernah Menjadi Penanda Status Sosial

Setangan Ikat Kepala Betawi yang Pernah Menjadi Penanda Status Sosial — Pembangunan Jakarta International Stadium (JIS) di Jakarta Utara menggunakan desain ikat kepala khas Betawi memiliki filosofi tersendiri. Ikat kepala Betawi atau setangan menyimbolkan martabat sekaligus jati diri masyarakat Betawi.

Diketahui sebelumnya Manajer Proyek PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Arry Wibowo mengatakan pembangunan JIS tak hanya menggunakan desain filosofi ikat kepala khas Betawi. Namun, juga menggunakan desain ornamen gigi balang di bagian depan.

“Ikat kepala khas Betawi itu kan bentuknya kain melingkar dan unik. Kami transformasikan dalam desain bangunan utama stadion, berupa kubah, seperti mangkok yang tidak terputus dan bentuk dasar lingkaran,” kata Arry dalam siaran akun Instagramnya, beberapa hari yang lalu.

Ikat kepala Betawi atau setangan kini memang telah jarang digunakan. Keberadaannya menghilang seiring berkembangnya alternatif penutup kepala lain seperti peci hingga topi. Bahkan, banyak jawara, jagoan Betawi yang kini mengenakan peci dibanding setangen ini.

Kendati demikian, setangan memiliki sejarah yang panjang bagi kaum Betawi. Konon, setangan tak hanya berfungsi sebagai pelindung terik matahari, hujan, hingga kotoran. Namun, setangen ikat kepala Betawi yang pernah menjadi penanda status sosial , terutama pada masa kolonial Belanda.

Mengutip Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi, yang ditulis G.J. Nawi, tepatnya, sekitar abad ke 17 hingga 18, setangan menjadi penanda budak atau tidaknya warga pribumi yang tinggal di kota Batavia. Pribumi merdeka boleh mengenakan setangan. Sementara, pribumi merdeka yang beragama Nasrani diperkenankan memakai topi. Dan, masyarakat pribumi budak tak diperkenankan memakai iket maupun topi.

Model dan Motif

Namun, aturan berubah pada tahun 1641. Pemerintah kolonial Belanda akhirnya memperkenankan para budak memalai topi dengan syarat mereka bisa berbahasa Belanda. Lambat laun, setangan mulai bisa dipakai oleh siapa saja tak mengenal status sosial yang melekat pada seseorang.

Menariknya, setangan atau ikat kepala di Betawi memiliki ragam motif dan model yang kaya. Dan, kebanyakan diasosiasikan dengan gejala alam. Misalnya model Barangbang Semplak yang memiliki model bagian belakang yang menyerupai kelapa patah.

Barangbang Semplak memiliki arti yang sama, yakni dahan kelapa yang patah. Model ini juga kerap digunakan oleh para jagoan, jawara hingga pendekar Betawi. Berbagai model ikat kepala yang lain yakni Bungkus Kol, Jengger, hingga Brongkos Keong.

Namun sayangnya, eksistensi ikat kepala berganti dengan tren peci. Bahkan, bagi masyarakat Betawi, khususnya pendekar, jawara, hingga jagoan, peci bahkan telah menjadi identutas ke-Betawian.

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.