Refleksi dan Momentum Hari Santri untuk Betawi

Refleksi dan Momentum Hari Santri untuk Betawi

Refleksi dan Momentum Hari Santri untuk Betawi — Peringatan Hari Santri yang jatuh pada Jumat (22/10) lalu menjadi momentum untuk memaknai kembali kiprah dan perjuangan santri-santri dari dulu hingga sekarang. Termasuk dalam sistem pendidikan ala pesantren yang ada di Betawi.

Tradisi metode pengajaran ala pesantren telah ada sejak proses Islamisasi di tanah Betawi. Lantas, bagaimana eksistensinya hingga saat ini? Berikut wawancara senibudayabetawi.com bersama tokoh tokoh, KH. Nasrudin Latif.

Wawancara Ekslusif dengan KH. Nasrudin Latif

Pertanyaan

Bagaimana eksistensi santri-santri Betawi dari tempo dulu hingga sekarang?

Jawaban

Betawi dan Islam itu tidak bisa dipisahkan secara kultural, dst, karena sejak awal masuknya Islam, masyarakat Betawi itu sudah terjadi proses Islamisasi. Kalau kata engkong saya, “Jangan kau tanya gua islam atau engga, puun pisang gua aja Islam,”. Islamnya Aswaja, Ahlussunnah Wal Jamaah.  Berkenaan dengan hal ini nyantri dan tempat pesantren itu juga udah mengakar di masyarakat ahlusunah wal jamaah termasuk di Betawi.

Nah di Betawi sebelum merdeka, yang terkenal dan sangat dikenal kita punya tokoh, Ki Guru Marzuki di Cipinang Muara. Semua murid-murid maupun anak menantu beliau yang nyantri sama beliau semuanya jadi kiai di Betawi.

Pertanyaan

Pola pengajaran seperti apa yang khas dari tradisi pesantren, dan apakah ada perubahan hingga saat ini?

Jawaban

Jadi kalau kita lihat pesantren ini asalnya dari Timur Tengah, dari Mekah, bahkan dari Nabi Muhammad SAW. Pola pengajaran yang diterapkan Nabi dan di dunia pesantren itu dikenal dengan nama sorogan, yaitu ngaji satu per satu dan santri yang membaca kitab di depan guru.

Kalau sekarang pesantren berkembang modern ada misalnya kelas itu sudah ada sejak zaman penjajahan. Tapi bahwa dunia santri dengan kitab, dengan tuan guru serta tradisi sorogan, itu pesantren yang asli.

Pola seperti ini harus dipertahankan sebenarnya, oleh karena itu para santri di Betawi—ngga tahu sekarang ada perkembangan dan pergeseran metodologi karena perkembangan zaman. Kalau santri sekarang milenial kurang begitu semangat dengan sistem pola yang ada sejak dulu. Mereka lebih gandrung dengan pola modern yang lebih memperhatikan sisi akademis.

Pertanyaan

Artinya tradisi sorogan apakah masih ada?

Jawaban

Tradisi sorogan setahu saya kalau sekarang hampir tidak ada, yang pesantren tidak resmi. Karena apa? Karena pendidikan sekarang itu bukan ilmu yang dicari tapi sertifikat ijazah, walaupun ada satu dua pada kyai-kyai tradisional. Tapi mereka tidak resmi, sebatas sampingan yang memang membuka kelas sorogan—tidak punya pengakuan ijazah atau sertifikat dalam bentuk kertas.

Pertanyaan

Bagaimana dengan sekolah madrasah, ibtidaiah, tsnawiyah  dan Aliyah?

Jawaban

Kalau dari sisi pesantren yang mengikuti sistem sorogan makin berkurang. Tapi madrasah atau sekolah yang mengelola ibtidaiah, tsanawiah dan Aliyah ini dualisme karena ada pelajaran umum atau akademik sehingga pelajaran agamanya sedikit.

Berbeda dengan pesantren tradisi salaf karena guru-guru senior yang mengajarkan sistem itu secara  sudah sepuh bahkan meninggal, meski penerusnya pun makin tetap, baik dari alumni pesantren yang kemudian menyebarkan ke cabang baru.

Pertanyaan

Tantangan pesantren di Betawi?

Jawaban

Banyak orang-orang betawi mengembangkan pesantren di Jabodetabek dengan sistem ala modern tapi tetap ikut sistem Nasional. Karena kalau tidak, nanti bisa tidak diakui oleh pemerintah dan diancam ditutup.

Tapi seharusnya tradisi sorogan harus dimanfaatkan di luar jam resmi pembelajaran. Pengelola harus mampu mengelola dengan baik tanpa mengurangi sistem seperti nahwu, shorof, balaghoh yang berbahasa arab, selain itu dia mengkonteksialisasi dengan pendidikan nasional yg dianjurkan pemerintah.

Pertanyaan

Tantangan kiai zaman sekarang dengan fenomena kiai yang sering kali terlibat politik praktis?

Jawaban

Ada kiai yang tertarik dg politik ada yang tidak. Ada kiai generasi saya 50-60tahunan yang banyak yang konsisten dalam dunia pendidikan saja, tidak tergiur ke dunia politik. Tapi kiai-kiai milenial, usia 45tahun ke bawah justru berlomba menjadi politisi dan lain-lain. Itu pilihan pribadi, tapi yang lebih baik kita teguh di dunia pendidikan. Karena ketika banyak aktivitas di luar dunia pendidikan, santri akan keleleran.

Kiai sekarang berat, di satu sisi harus mengimbangi zaman dan masyarakat yang semakin maju, tapi mereka sebagai tuan gurunya tentu para kiai harus banyak baca. Saya selesai kuliah tahun 1991, tapi tidak pernah berhenti membaca, tetap membeli kitab, dan memakai untuk taklim. Kala berhenti membaca, belajar akan tidak maju.

Pertanyaan

Harapan refleksi dan momentum Hari Santri untuk Betawi ?

Jawaban

Momentum hari santri harus dimanfaatkan sebaik mungkin karena untuk mendapatkan pengakuan adanya hari santri nasional itu perjuangan yang diperjuangkan oleh Aswaja, NU, Ahlusunah wal jamaah. Dan pola beragama masyarakat Betawi adalah aswaja sejak islam masuk ke nusantara. Harapannya, ini momentum kita kontekstualisasikan bagaimana baiknya kita konsisten, kembali ke asal ,tujuan fisik kita menjadi tuan guru di kampung sendiri.

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.