Begini Maen Pukulan Betawi di Era Kolonial

Begini Maen Pukulan Betawi di Era Kolonial

Begini Maen Pukulan Betawi di Era Kolonial—Sejak tempo dulu, tanah Betawi menjadi salah satu kawasan istimewa incaran kaum urban serta kolonial. Hal ini tak lain karena posisinya sebagai jantung simpul pertemuan berbagai kebudayaan. Sejak zaman kolonial, Betawi bahkan dijuluki Koningen van Oosten atau Ratu dari Timur.

Masa kolonial Eropa Barat (Belanda dan Inggris) di akhir abad ke-18 serta masa kependudukan Jepang Perang Dunia II merupakan titik awal maen pukulan Betawi bermula. Tepatnya pada abad ke-19, imbas pergolakan dan revolusi sosial kolonialisme barat. Sementara pada era Perang Dunia II, saat pemerintahan militer Jepang menguasai Indonesia, perubahan sosial terjadi yang menunjukkan semangat kebangsaan.

Berbagai macam pegolakan timbul karena kebijakan-kebijakan yang tak manusiawi. Misalnya kebijakan kolonial berupa Culture Stelsel atau tanam paksa oleh Johannes Van Den Bosch (1808-1833).

Di tanah Betawi, khususnya di daerah pinggiran, perlawanan masyarakat tani dipelopori oleh para jago. Istilah ‘jago’ konon berasal dari bahasa Portugis yang secara harfiah berarti permainan. Namun, istilah ini juga muncul di Banten sekitar 1810. Istilah jago, juara, atau jawara merujuk pada orang yang ahli ilmu bela diri.

Begini Maen Pukulan Betawi di Era Kolonial

Kemunculan para jago ini ditanggapi pemerintah kolonial melalui Tindakan segregasi dan politik Devide et Impera, yakni merekrut orang-orang pribumi yang memiliki kepandaian bela diri dan menyamai jago. Sebagai imbalan, mereka mendapat jabatan resmi seperti Wijkmesester (tuan Bek) dan Serean.

Menilik Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi karangan G.J Nawi, masa ini disebut sebagai masanya para jagoan dan jago Betawi. Mereka sama-sama beradu demi kepentingan—apakah itu orang-orang Belanda atau bangsanya sendiri.

Masa yang sarat berbagai kepentingan (aneksasi dan kolonialisasi) inilah awal masyarakat dari berbagai etnis penghuni tanah Betawi membentuk jati dirinya. Identitas etnis ini terus mencair hingga menbentuk etnis baru sekitar abad ke-18 dan 19.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.