Multikulturalisme Seni Budaya Betawi dalam Masyarakat Betawi — Dikenal sebagai tempat tinggal kalangan multi etnis, Jakarta tetap tak bisa dilepaskan dari suku Betawi. Peradaban sejarah telah membuktikan suku Betawi merupakan percampuran antar etnis dan bangsa di masa silam. Produk seni budaya Betawi menjadi saksi budaya ini berkembang sedemikian rupa.
Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyatakan manusia Betawi telah ada sejak abad ke-5 sebelum masehi. Ini ditandai dengan berakhirya kekuasaan Tarumanegara di tangan kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Meski belum ada penamaan Suku Betawi, tapi munculnya istilah manusia proto Melayu Betawi merupakan penanda berawalnya suku ini.
Selanjutnya manusia proto Melayu Betawi ini berkembang dengan ditandainya kekuasaan kerajaan Pajajaran hingga didirikanlah Jayakarta oleh Fatahillah. “Pada saat inilah awal mula perbauran wajah di etnis Jakarta, baik melalui perdagangan hingga perkawinan,” ujarnya dalam seminar ‘Multikulturarisme Seni Budaya Betawi dan Interaksi dengan Etnis Lainnya’, oleh Institut Kesenian Jakarta, Selasa (30/11).
Multikulturalisme Seni Budaya Betawi dalam Masyarakat Betawi
Pembauran kian masif menyusul semakin banyaknya beragam etnis yang tinggal di Jakarta pada zaman kolonialisme. Puncaknya pada masa pascakemerdekaan yang diikuti dengan dinamika global. Proses saling serap, saling terima budaya timur-timur, timur barat menjadi inti bangun budaya Betawi.
Misalnya, interksi budaya Betawi dengan budaya Timur (Indonesia), terlihat jelas dari ekspresi kesenian Wayang Kulit Betawi yang memadukan antara budaya Betawi dan Jawa. Unsur budaya Jawa tampak terlihat jelas dalam bahan wayang yang digunakan dan reporter pewayangan mengacu Mahabarata dan Ramayana. Sementara unsur Betawi tampak jelas pada dialog yang menggunakan bahasa Melayu Betawi dicampur Jawa dan Sunda.
Tak hanya itu, Bang Yahya juga menyorot tentang kondisi kelas sosial masyarakat Betawi dengan beragam kelompok yang turut membaurkan budaya di Jakarta. Misalnya, dalam masyarakat Betawi, terdapat kelompok bangse Mualim, Islam Apaan, bangse Gedongan, dan orang biase.
Sementara Budayawan Seno Gumira Ajidarma melalui pendekatan analisis tekstual, seni budaya Betawi dapat dibedah melalui makna yang dapat berubah sesuai perubahan prespektif dan zaman. Melalui pendekatan ini, Seno menyebut, identitas budaya Betawi dapat dimaknai secara lebih cair. “Betawi itu tak hanya etnik. Semua orang berhak tinggal, dan memiliki Betawi. Jadi pemaknaannya tak hanya etnik darah saja,” ungkap dia.
Perbedaan prespektif di sini mengacu pada perbedaan kondisi sosial di masyarakatnya. Misalnya, perbedaan kelas sosial, gender, umur, kebangsaan, agama, serta kedudukan politis.
Sementara Kepala Dinas Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana menyatakan pembauran kebudayaan di Jakarta merupakan satu keniscayaan. Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta berkewajiban untuk melindungi berbagai kebudayaan yang ada di Jakarta. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Tak hanya Betawi saja, tapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan
mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang ada di daerah Provinsi DKI Jakarta”.
RAMADANI WAHYU