Perkembangan Cokek, Akulturasi Tionghoa Betawi – Peran etnis Tionghoa di Betawi sangatlah besar. Mulai dari menghidupkan roda perekonomian melalui perdagangan hingga terkait perkembangan budaya. Orang Betawi mengenal pengucapan bilangan mata uang ‘seratus’ ‘lima puluh’, dan ‘seratus lima puluh’ dengan istilah ‘cepek’, ‘gocap’, dan ‘pego’.
Tak hanya itu, akulturasi peran etnis Tionghoa pada Betawi juga tampak jelas pada hasil seni budaya Betawi. Dari situ pula, masyarakat Betawi akhirnya mulai mengenal pakaian pengantin perempuan Betawi, seperti hiasan kepala burung hong, cadar, motif bunga-bunga dan gambang kromong. Yang tak kalah menarik, sentuhan etnis Tionghoa juga tampak pada kesenian Cokek.
Menukil tulisan Phoa Kian Sioe (1949), awalnya wayang cukong dimiliki para cukong atau pimpinan masyarakat Tionghoa yang telah diangkat oleh Belanda. Para cukong ini terdiri atas para kapten dan anak-anaknya. Konon, wayang cokek diberikan rumah khusus, ‘koan wayang’. Di rumah ini, cokek diberi pelatihan khusus berupa menyanyi dan menari oleh para wayang cokek senior.
Wayang cokek senior juga sebagai perias wayang cokek dengan baju kurung sutra merah berkancing intan dan perhiasan mahal. Nilai perhiasan itu sebagai tanda derajat gengsi pada tuannya, sehingga tidak sembarang orang dapat mendekati wayang cokek.
Tionghoa di Betavia
Awalnya tari cokek tidak langsung berkembang di Jakarta. Namun, berkembang di Kabupaten Tangerang, Banten sejak abad ke-19. Tari cokek awalnya ditarikan oleh tiga orang perempuan sebagai pelengkap ritual pesta rakyat. Seiring berjalannya waktu, tari cokek berkembang menjadi tari berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Kata ‘cokek/ diambil dari nama tuan tanah yang bernama ‘Tan Chiou Kek’, orang yang pertama kalinya mengilhami pertunjukan ini.
Di Betawi sendiri, penyebutan ‘cokek’ merupakan hasil kesepakatan bersama dari masyarakat Betawi yang tinggal di daerah pesisir dan pinggir Kota Jakarta untuk mempermudah penyebutan ‘chioun kek’ menjadi ‘cokek’ yang berasal dari ‘Tan Chiou Kek’.
Cokek konon banyak berkembang di daerah Betawi Udik. Hal ini mengacu pada rekam jejak sejarah berupa tawar menawar antara Gubernur Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) VOC, dan saudagar kaya Tionghoa, Souw Beng Kong (Souw). Awalnya, Souw Beng Kong merupakan saudagar kaya yang memiliki hubungan baik dengan Sultan Banten. Namun, saat JP Coen berlabuh di Pelabuhan Banten, Souw Beng Kong menawarkannya untuk pindah ke Batavia dengan iming-iming keuntungan yang besar.
Tawaran tersebut ditolak VOC. Hingga beberapa waktu setelahnya, etnis Tionghoa di Banten mulai merasa tak nyaman dengan kebijakan-kebijakan VOC, seperti Ranamanggala. Pemukiman etnis Tionghoa dibongkar. Kali ini, giliran JP Coen yang menawarkan Souw Beng Kong beserta etnis Tionghoa untuk pindah ke Batavia.