Marwah Betawi dalam Musik Gambang Kromong — Muasal alat musik Gambang Kromong tak bisa terlepas dari akulturasi budaya Tionghoa. Nie Hoe Kong merupakan salah satu tokoh yang memiliki andil besar hingga menghasilkan perpaduan antara musik bernuansa Tionghoa dan Betawi.
Sejarah telah membuktikan bahwa Gambang Kromong tempo dahulu sebatas digunakan untuk hiburan sebagai pengiring Tari Cokek dan pertunjukan teater Lenong Betawi. Dalam Tari Cokek, terdapat kebiasaan yang disebut dengan ngibing (istilah yang dipakai penari cokek untuk menari bersama para tamu menggunakan cukin).
Tempo dulu, pertunjukkan Gambang Kromong kerap kali disertai perayaan-perayaan minum alkhohol dan perjudian. Hal ini dibenarkan oleh Budayawan Yahya Andi Saputra. Pementasan Gambang Kromong dahulu sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam pada masyarakat Betawi.
“Oleh karenanya pada perkembangan selanjutnya, pemerintah dan perwakilan masyarakat Betawi melakukan pembaruan dengan menghilangkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan nilai agama Islam,” ujarnya kapada senibudayabetawi.com, Senin (6/12).
Jaga Marwah Betawi, Bernuansa Nilai Islam
Pembaruan pementasan Gambang Kromong dilakukan sekitar tahun 70-an dengan mengadopsi nilai-nilai Islam. Misalnya, menghilangkan prosesi ngibing, hingga nyawer. Tak hanya itu, perubahan ini juga terjadi pada pakaian penyanyi Gambang Kromong yang sudah tak lagi memperlihatkan auratnya. Demikian Marwah Betawi dalam Musik Gambang Kromong terlihat dari pakaian pemain musik laki-laki, yang sebagian memakai baju koko beserta peci hitam.
“Pakaian yang digunakan pemain Gambang Kromong diintegrasikan dengan nilai Islam. Sehingga tak lagi buka aurat,” imbuh dia.
Demikian pementasan Gambang Kromong mampu menyesuaikan nilai Islam dalam kehidupan marwah masyarakat Betawi itu sendiri. Bahkan, Gambang Kromong juga semakin luas fungsinya, yakni sebagai penyampai nilai-nilai positif media dakwah. Hal ini terlihat dari beberapa lagu-lagu yang digunakan yang kebanyakan berisi pesan moral.
Ninuk Kleden, dalam Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik, menyatakan bahwa lagu-lagu yang dibawakan seperti stambul, “Jali-jali”, “Cente Manis” akhirnya mencerminkan lagu Gambang Kromong. Lagu-lagu yang digunakan lebih kepada lagu bernuansa humor, komedi, kehidupan sehari-hari. Tak ada lagi lagu-lagu yang mengandung pesan vulgar.
Gambang kromong, sebagaimana dinukil dari Orkes Gambang Hasil Peranakan Tionghoa di Jakarta (1949) karya Poa Kian Soe, gambang kromong sudah dikenal sejak 1880 saat Bek Teng Tjoe memberikan sajian musik pada para tamunya di Cina Benteng. Bagi orang Tionghoa peranakan, gambang kromong telah menjadi hiburan.
Menariknya, bagi masyarakat Betawi, justru musik gambang kromong tak sekadar digunakan sebagai hiburan, tapi penyemarak upacara ritual. Diketahui pengertian musik gambang kromong Betawi mengandung dua pengertian, yakni gambang kromong asli dan gambang kromong kombinasi. Musik gambang kromong asli masih mempergunakan instrumen tradisional. Sementara gambang kromong kombinasi telah menambahkan alat-alat musik barat kedalamnya. Misalnya, gitar, bass listrik, keyboard, saxopon, biola dan terompet.