Asa Penjaga Wayang Kulit Betawi

Asa Penjaga Wayang Kulit Betawi

Asa Penjaga Wayang Kulit BetawiWayang kulit Betawi nyaris tak pernah terdengar gaungnya. Namun, siapa sangka di bawah Sanggar Marga Juwita, wayang kulit Betawi masih bisa menjadi pertunjukkan paling epik di Jakarta. Di bawah naungan Bang Jaya Bonang, keluarga ini terus melestarikan wayang Betawi dari generasi ke generasi.

Satu set gamelan lengkap menjadi saksi bisu perjuangan Sanggar Wayang Betawi Marga Juwita. Gamelan tersebut merupakan “penyambung tali estafet perjuangan wayang Betawi secara lintas generasi. Selepas Almarhum Bang Surya Bonang menghembuskan nafas terakhirnya, Bang Jaya harus meneruskan perjuangan ayahnya itu.

“Sebagai anak pertama, saya wajib meneruskan perjuangan bapak saya, yaitu eksis menghidupkan wayang Betawi,” ujarnya kepada senibudayabetawi.com, Rabu (8/12).

Satu set gamelan peninggalan almarhum ayahnya itu bukanlah gamelan biasa. Bang Jaya mengaku sejak tahun 90-an, nama Bang Surya Bonang begitu tersohor dengan satu set gamelannya. Terlebih dengan gaya khasnya, Bang Surya Bonang tak pernah gagal membuat penonton wayang Betawi betah menikmati pertunjukan.

Darah seni ayahnya, diakui Bang Jaya sama sekali tak mengalir padanya. Namun, ia tersadar bahwa wayang Betawi harus terus dilestarikan– asa penjaga wayang kulit Betawi. Terlebih di era sekrang di saat pecinta wayang kulit Betawi semakin sedikit. Menurutnya, pecinta wayang kulit Betawi kebanyakan justru didominasi orang-orang pinggiran. Pergerakan wayang kulit Betawi di Jakarta pusat sekadar jalan di tempat. Ia mengaku justru menerima banyak order dari pinggiran, seperti Kota Tangerang.

“Tapi ini sebenarnya tantangan buat kita agar anak-anak muda juga ikut terlibat melestarikan wayang ini,” papar dia.

Asa penjaga wayang kulit Betawi, Bang Jaya tak berhenti. Ia mengumpulkan beberapa anak muda untuk turut andil. Ia mengkoordinir sekitar 19 personel pemusik dan dalang. Khusus untuk dalang, sambungnya tak bisa ditunjuk asal-asalan. Kendati dalang berusia masih muda, tapi harus diperhatikan pakem-pakemnya.

Karakteristik Wayang Betawi

Dalam pertunjukan wayang kulit Betawi, sambung Bang Jaya ada tiga bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Betawi, Sunda dan Jawa. Adapun penggunaan bahasa yang dignakan mengacu pada cerita yang dibawakan. Jika ceritanya tentang karakter orang biasa, yakni Gareng atau Petruk maka dalang menggunakan bahasa Betawi tulen.

“Tapi jika ceritanya tentang wayang terhormat seperti Batara Kresna dan Arjuna maka menggunakan bahasa Sunda atau Jawa,” ungkap dia.

Keberadaan wayang kulit Betawi konon mulai ada sekitar tahun 1628 dan 1629. Ini bermula ketika Sultan Agung Anyakrakusuma memimpin prajuritnya di Mataram guna melumpuhkan Batavia. Saat itu, Batavia dipimpin oleh Gubernur Jendral Belanda, yakni Jan Pieterzoon Coen.

Adapun pasukan dari Mataram yang mendiami rumah di Jakarta menjadi pos peristirahatan. Dalam pos peristirahatan inilah peristiwa pewayangan itu bermula. Lambat-laun pertunjukan wayang Mataram yang memukau penonton ini berkembang menjadi wayang kulit Betawi.

Wayang kulit Betawi banyak berkembang di daerah pinggiran kota Jakarta, misalnya di daerah Ragunan, Tangerang, Bekasi, hingga Tambun. Tak ayal jika banyak orang menyebut wayang Betawi sebagai wayang Tambun.

Menariknya, wayang kulit Betawi kerap membawakan cerita atau lakon kehidupan sehari-hari yang ada pada kitab Mahabarata dan Ramayana. Adapun saat pementasan, wayang kulit Betawi akan diiringin menggunakan gamelan Sunda laras Salendro, terbuat dari logam besi berbagan perunggu. Sementara gamelan yang mengiringinnya disebut Gamelan Ajeng, yang terdiri atas terompet, saron, kromong, kecrek, gendang, kempul, gedemung, serta kempul.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.