Tradisi Kudangan dalam Perkawinan Masyarakat Betawi – Perkawinan merupakan salah satu upacara sakral yang dilakukan setiap insan manusia. Dalam perkawinan Betawi, biasanya dimulai dari perjumpaan dan pendekatan, lamaran hingga prosesi akad nikah. Selain pemberian mahar dari pihak mempelai laki-laki ke perempuan, ada salah satu tradisi yang tak pernah terlewatkan dalam perkawinan adat Betawi, yaitu Kudangan.
Kudangan merupakan suatu ucapan atau janji orang tua mempelai perempuan kepada anaknya saat perempuan tersebut masih kecil. Konon, kudangan berasal dari kayu atau bambu yang bentuknya seperti perahu. Kudangan ini dapat dimodif sehingga tampak seperti perahu biasa dan dihias laksana perahu bebek.
Kudangan merupakan kewajiban adat yang wajib dan harus dipenuhi oleh mempelai laki-laki. Latar belakang pelaksanaan kudangan yaitu biasanya orang tua mempelai perempuan tidak dapat memenuhi permintaan mempelai perempuan ketika ia masih kecil. Sehingga, janji orang tua tersebut akan dilangsungkan saat ia mendapatkan jodoh dalam suatu akad pernikahan.
Adapun tujuan kudangan tersebut kudangan tersebut sebagai penghormatan kepada pihak mempelai perempuan yang akan dinikahinya. Tradisi Kudangan dalam Perkawinan Masyarakat Betawi terdiri atas bahan-bahan makanan pokok dan peralatan dapur, seperti ikan asin, sayur sayuran, kue dodol, dandang, telor asin, sirih ikan yang dihias.
Perkawinan Adat Betawi
Secara umum, dalam perkawinan adat Betawi mengenal tradisi memberikan seserahan, yakni hantaran dari mempelai laki-laki ke perempuan. Biasanya seserahan tersebut berupa uang, makanan, bahan mentah, perlengkapan perempuan, peralatan dapur. Ditambah pula, dalam Siklus Betawi: Upacara dan Adat Istiadat Yahya Andi Saputra berupa mahar, sirih nanas, roti buaya, peti Shie, Jung, Kekudang, Pesalin, serta Pelangkah .
Konon muasal tradisi seserahan berawal sejak zaman Vereenigde Oost Compagnie (VOC). Tepatnya di bawah pimpinan Jan Pietersszoon Coen sebagai gubernur Hindia Belanda (1557-1629) yang ingin membangun masyarakat Kolonial Batavia secara permanen.
Seserahan tersebut digunakan sebagai jaminan keamanan bagi gadis yang akan didatangkan ke Hindia Belanda yang berupa seperangkat busana. Mereka akan “menikah dan baik-baik”. Setelah menikah, mereka masih diberi tambahan berupa pakaian rumah tinggal, serta uang ekstra untuk memenuhi kebutuhan.
Perempuan-perempuan ini diwajibkan tinggal selama lima belas tahun di Hindia Belanda. Sejarah seserahan dalam perkawinan adat Betawi tak jauh berkaca pada hal ini. Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia: Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur Jakarta mengungkap tradisi di masa VOC ini kemudian dilanjutkan pada masyarakat Batavia.