Identitas Orang Kampung Tugu Jakarta

Identitas Orang Kampung Tugu Jakarta

Identitas Sejarah Orang Kampung Tugu Jakarta — Keberadaan orang Tugu di Jakarta tak dapat dilepaskan dari sejarah Bangsa Portugis ke Nusantara. Mereka datang mulai tahun 1510-1511 tepat saat Alfonso de Albuquerque menakhlukkan Goa dan Malaka. Sementara di Sunda Kelapa, kedatangan Bangsa Portugis diinisiasi oleh Tome Pires (1513) yang mencari rempah-rempah antara Malaka dan Maluku.

Keberadaan Belanda pada 1959 juga turut memengaruhi keberadaan Portugis ke Indonesia. Kekuatan Portugis dalam kegiatan perdagangan rempah-rempah dan penyebaran agama Katholik mulai melemah. Alhasil, orang Portugis yang dikalahkan Belanda dibawa ke Batavia untuk dijadikan tawanan perang. Mereka inilah yang kemudian menjadi nenek moyang dari identitas Orang Tugu Jakarta yang ada pada saat ini.

Nasib Tawanan di Batavia

Mengutip Jakarta A History (1987) yang ditulis oleh Susan Abeyasekere, di Batavia, tawanan perang Portugis ini diperlakukan seperti halnya budak dan pekerja. Bahkan, status sosial mereka lebih rendah dibanding orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Mereka bukanlah Portugis asli, tapi telah menjadi etnis campuran antara Portugis dengan orang-orang Coromandel, Benggali, serta Maluku.

Untuk mempertahankan hidup, mereka tinggal di luar benteng utama Batavia yang ditempati oleh orang Belanda. Kali pertama, mereka mendirikan sebuah gereja di tepi Jembatan Kali Besar gereja Portugis yang dikenal sebagai nama Gereja Sion atau Portugeesche Buitenkerk. Konon, gereja ini merupakan gereja reformasi Protestan meski tawanan Portugis ini beragama Katholik.

Namun, pada 1661, dalam Krontjong Toegoe (2011), karya Van Ganap disebutkan bahwa atas desakan Gereja Portugis di Batavia, para tawanan ini dibebaskan—disebut sebagai kelompok merdequas atau mardijkers. Sebagai tebusan, kelompok ini diwajibkan untuk berpindah keyakinan menjadi Protestan. Sejak saat itu, mereka tak lagi berstatus sebagai mardijkers tapi De Mardijkers dan menghilangkan identitas Portugis mereka. Itu artinya, tepatnya sejak dimerdekakan pada 1642 dan 1815 mereka terdaftar sebagai masyarakat Batavia yang memiliki status sosial sama dengan etnis pribumi.

Para famili mardijkers ini terpencar dan memilih tempat tinggalnya masing-masing. Ada yang berpindah ke tempat, disebut dengan Kampung Tugu dan ada yang memilih di Batavia. Mereka yang tinggal di Kampung Tugu memiliki ikatan sosial yang lebih besar. Oleh karenanya kelompok mardijkers di Kampung Tugu bisa mempertahankan bahasa (cristao), dan warisan budaya lainnya.

Budaya di Kampung Tugu

Menariknya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Orang Tugu turut memperbesar daya tahan hidup mereka. Mereka juga memiliki beragam tradisi yang sebagian besar diinisiasi oleh Gereja Tugu sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Misalnya, begitu masa panen padi tiba, Orang Tugu melakukan acara pesta panen yang digelar setiap tahun hingga tahun 1980-an.

Tradisi agama dan ritual kepercayaan di Kampung Tugu cukup kuat. Ini tak lepas dari pengaruh kuatnya solidaritas masyarakat di bawah naungan riligius komunitas Kristen Protestan. Pesta tradisi rabo-rabo dan mandi-mandi misalnya yang menjadi perayaan paling ditunggu umat mengiringi tradisi Natal dan Tahun Baru.

Selain itu, meeka tetap mempertahankan kebudayaan mereka dengan memastikan menjaga bahasa Portugis Cristao atau penduduk setempat menyebutnya “Portugis Kreol”. Bahasa ini telah hilang sejak akhir abad ke-19 dan berganti menjadi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dialek Betawi.

Ramadani Wahyu

1 Response

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.