Berlambang Panah hingga Menjadi Titik Kumpul Para Jawara, Begini Sejarah Masjid Jami’ Muyassarin – Masjid bukan sekadar memiliki fungsi sebagai peribadatan umat Islam, tapi memiliki narasi yang panjang sebagai sanksi sejarah di suatu wilayah. Salah satu masjid di tanah Betawi yang menyimpan memori ratusan tahun lamanya yaitu Masjid Jami’ Muyassarin.
Berlokasi di Jl. Masjid Muyassarin, Cipulir, Kebayoran Lama, masjid ini terbilang unik. Jika biasanya masjid terlihat menjulang dengan lambang Bulan Sabit atau lafadz Allah maka tak berlaku pada masjid yang telah ada sejak 1779 ini. Lambang busur panah emas tampak mencolok di atas menara bercat hijau putih.
Tak sekadar lambang biasa, ternyata di balik lambang ini terdapat makna tersendiri. Masjid yang awalnya hanya berupa mushola ini ternyata mengalami beberapa renovasi. Renovasi pertama pada 1850 dilakukan dengan menjadikannya masjid. Kemudian dilanjutkan dengan renovasi lanjutan pada 1948 dan 1994. Lambang menara berupa busur panah mulai dibangun pada tahun 1960.
Sesepuh Masjid Jami’ Muyassarin, KH. Atok Illah mengungkap makna di balik lambang busur panah tersebut mengacu pada hadist sunnah Rasulullah SAW yang menggunakan panah sebagai senjata zaman dahulu. Demikian lambang ini juga selaras dengan latar historis masjid ini yang sejak zaman kolonial Belanda digunakan sebagai titik kumpul para jawara.
“Dulu di pasar Kebayoran itu digunakan sebagai tahanan masa kolonial, dan mereka (para tahanan) dan jawara kumpul di sini,” ujar dia kepada senibudayabetawi.com, Rabu (15/12).
Berlambang Panah hingga Menjadi Titik Kumpul Para Jawara, Begini Sejarah Masjid Jami’ Muyassarin
Para jawara ini, sambung dia kerap berlatih di Masjid Jami’ Muyassarin yang dipimpin oleh H. Marjuk sebelum akhirnya bertempur melawan pihak kolonial Belanda. Tak sekadar berbekal maen pukulan Beksi, H. Marjuk juga menggenggam ilmu kebal Rawa Rontek—gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi untuk digunakan melawan pemerintah kolonial. Namun, kemudian ilmu ini tak lagi diturunkan seiring pasca kemerdekaan karena dianggap ilmu hitam.
Tak sekadar maen pukulan, mereka juga belajar mengaji yang dipimpin oleh kakek KH. Atok, yakni KH. Jabir bin Syeh Zakaria. “Kakek saya pun juga mengadakan majelis taklim mengaji di sini, seperti kitab kuning, tafsir, hadist,” imbuh dia.
Menariknya, hubungan H. Marjuk dan KH. Jabir bermula seperti halnya tradisi para jawara yang saling menaklukkan sebelum akhirnya berakhir menjadi besan. KH. Jabir sebelumnya merupakan ulama dan jawara di Kuningan Barat yang anak pertamanya menikah dengan anak tertua H. Marjuk. Akhirnya dua tokoh inilah yang kemudian menyiarkan dan melanggengkan maen pukulan Betawi di daerah Kebayoran Lama.
Hingga saat ini, Masjid Jami’ Muyassarin masih tetap digunakan sebagai titik kumpul para guru maen pukulan—sekadar sebagai tempat bermusyawarah hingga berlatih maen pukulan. Tampak di depan masjid ini terdapat makam-makam tokoh jawara dan ulama yang terlibat dalam pembangunan masjid tua ini.