Merawat Kesakralan Pantun Betawi

Merawat Kesakralan Pantun Betawi Ala Sanggar Silibet Pengadegan

Merawat Kesakralan Pantun Betawi – Dikenal sebagai salah satu budaya Betawi, pantun memiliki tempat tersendiri dalam masyarakat Betawi. Meski kerap terlihat spontan, kocak dan terkesan ‘nyablak’, pantun Betawi ternyata mengiringi tradisi sakral berupa palang pintu. Hal inilah pula yang menjadikan pantun juga menempati posisi yang sakral.

Pemaknaan pantun tersebut dihayati secara total oleh Sanggar Silibet Pengadegan. Pantun yang mengiringi tradisi palang pintu tak asal ‘nyablak’ dan kocak. Namun, tetap mempertahankan ciri khas yang santun dan bernuansa nasihat.

Ketua Sanggar Silibet Ramdani menyatakan ada dua hal yang penting dalam suatu pertunjukan palang pintu, yaitu silat atau maen pukulan dan pantun. Silat atau maen pukulan bukan berarti menyibolkan tindak kekerasan, tapi lebih kepada simbol penjagaan diri mempelai terhadap keluarganya.

Pantun Simbol Etika dan Kesantunan

Sementara, posisi pantun menyimbolkan etika, kesantunan pihak mempelai lelaki yang terlihat dalam cara berkomunikasi menggunakan pantun. “Pantun itu bukan asal seru, lucu, tapi bagaimana pantun itu mampu memperlihatkan kalau kita beradap dan beretika pada pihak mempelai perempuan,” ujar dia kepada senibudayabetawi.com beberapa waktu lalu.

Lelaki yang akrab disapa Bang Dani ini bukan baru-baru ini merawat kesakralan pantun Betawi. Ikhtiar itu telah dia lakukan jauh sebelum mendirikan Sanggar Silibet Pengadegan pada tahun 90-an. Sebelumnya, Bang Dani tergabung dalam palang pintu Batavia Group. Evaluasi terus menerus dilakukan setiap usai pentas palang pintu.

“Dulu kita sering kali mengevaluasi mainan kita, pantun kita seperti apa dengan beli Walkman dan didengarkan bersama-sama. Oh itu pantun kita ada yang salah dan tidak enak didengarkan, misalnya seperti itu, kita perbaiki terus,” beber dia.

Sejatinya pantun Betawi harus turut memperhatikan isinya yang tak lepas dari ajaran moral, nasihat, serta sopan santun terlepas dari pembawaannya yang spontan dan kocak.

Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra menyatakan seni berpantun Bahasa Betawi hendaknya dilakukan sesuai pakem dengan memperhatikan pilihan kata yang tak sembarangan. Pantun telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.

“Pantun zaman sekarang terutama di palang pintu kacau. Diksinya kacau balau. Padahal bahasa itu ada lapisannya, salah satunya kesopanan. Dan palang pintu yang memang ada pantunnya itu upacara sakral,” pungkas dia.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.