Kristenisasi dan Akulturasi Budaya Lokal Betawi

Kristenisasi dan Akulturasi Budaya Lokal Betawi

Kristenisasi dan Akulturasi Budaya Lokal Betawi — Riwayat Kristenisasi (baik oleh Protestan maupun Katolik) di Indonesia sering kali dikaitkan dengan usaha pembaratan sekaligus penolakan dari rakyat Indonesia. Agama Katolik awalnya disebarluaskan oleh Bangsa Portugis sekitar abad ke-16 lalu diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda mulai abad ke-19.

Penyebaran Kristenisasi di Tanah Betawi tak luput dari pendirian Lembaga Pekabaran Injil Genootschap voor Inen wendige Zending te Batavia (GIUZ) pada 1851 di Jakarta oleh beberapa orang Eropa. Lembaga ini bekerjasama antara lain dengan Lembaga Pekabaran Injil Zendeling Werkman di Belanda. Beberapa tokoh pendiri GIUZ adalah Mr. F. L. Anthing dan Pdt. E.W. King.

Melalui prinsip kerja “Mengabarkan Injil oleh Penginjil Pribumi”, Mr. F. L. Anthing yang awalnya mendirikan Pekabaran Injil di Jawa Barat lalu meluaskan pendirian pos-pos Pekabaran Injil di Jakarta. Mereka kerap disebut sebagai “Jemaat-jemaat Anthing”. Beberapa diantanya ada di wilayah Kampung Sawah, Pondok Melati, Tanah Tinggi, Cakung, Ciater, Cigelam, dan Gunung Putri.

Kristenisasi dan Akulturasi Budaya Lokal Betawi

Pemeluk Protestan dari multi etnis yakni pada tahun 1895 terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, yaitu kelompok Katolik Roma yang berkembang di Kampung Sawah dengan ditandainya pembaptisan 18 putra setempat pada 6 Oktober dari Katerdal Batavia. Menariknya, penganut Kristen di Kampung Sawah lalu membuat sistem marga, tradisi yang tak ditemukan di Betawi lainnya. Misalnya, Marga Baiin, Bicin, Napiun, Dani, hingga Kelip. Nama marga merupakan bentukan dari sistem kolonial dan tak diimplementasikan di luar daerah.

Kendati proses Kristenisasi di Kampung Sawah sangat kental, penduduk asli Kampung Sawah masih tetap menjunjung tinggi adat istiadat Betawi yang mencerminkan ciri khas mereka. Adat istiadat merupakan ungkapan kekayaan tradisi yang diimplementasikan oleh penduduk Kampung Sawah dalam menjalani kehidupan rohaninya. Warna-warni tradisi itu juga dimaknai mendalam oleh Gereja di Kampung Sawah sebagaimana mengawinkan budaya lokal Betawi.

Misalnya, dalam beragam acara perayaan Natal di Gereja Servatius, Kampung Sawah, sejumlah anak laki-laki berpakaian koko dan berpeci. Demikian anak perempuan yang kerap berkebaya encium khas Betawi. Sementara, Umat Katolik Paroki ini juga memilki tradisi tahunan penggabungan keyakinan iman dan tradisi, yakni sedekah bumi.

Munculnya tradisi sedekah bumi berkaca pada kondisi geografis dan profesi masyarakat Kampung Sawah yang sebagian besar sebagai petani. Sedekah bumi identik dengan persembahan hasil panen, padi dan sayur-sayuran. Sejak tahun 1996, peringatan ini diperingati setiap 13 Mei sebagai ungkapan syukur dikaitkan dengan hari Perlindungan Paroki, Santo Servatius.

Sedekah bumi merupakan bagian dari ritual mensyukusi rahmat Tuhan yang diberikan pada umatnya. Demikian dalam sedekah bumi tak hanya dihadiri oleh umat Katolik Servatius, tapi tokoh-tokoh masyrakat setempat agama lain.

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.