Riwayat Keberagaman Beragama Betawi Kampung Sawah — Kampung Sawah — berada di kawasan Kota Bekasi pada awalnya merupakan daerah berpenduduk Betawi yang lekat dengan agama Islam. Ini tak lain karena penyebaran Islam dari wilaya Banten dan banyaknya tokoh Betawi yang mempelajari agama Islam. Para ulama dan Guru yang pernah menuntut ilmu agama di Mekkah, Madinah pulang kembali untuk mengajarkan ilmu agama. Namun, penyebaran agama non Islam juga pesat terjadi di wilayah ini.
Mengutip Robin Hood Betawi karya Alwi Shahab (2002), keberadaan agama Kristen di Komunitas Kampung Sawah tak lepas dari hadirnya seorang jawara dari Benten. Jawara tersebut kawin dengan putri tuan tanah Belanda serta ikut agama putri tuan tanah Belanda. Dari perkawinan inilah keturunan mereka berkembang dan menganut agama Kristen di Kampung Sawah.
Menariknya, menurut Katolik dan Budaya Lokal Betawi: Studi Akulturasi Katolik terhadap Budaya Lokal Betawi di Kampung Sawah, Bekasi tulisan Helmi Suhaimi (2016), masuknya agama Katolik di Kampung Sawah bukan melalui dasar agama, tapi faktor ekonomi serta perdagangan. Belanda mengajak masyarakat Kampung Sawah bergabung ke Agama Katolik dengan memastikan memberikan pekerjaan.
Masyarakat Kampung Sawah merupakan daerah yang dikuasai Belanda pada zaman kolonial. Pertanian menjadi ladang perkebunan bangsa Belanda untuk dapat bertahan di Kampung Sawah. Perkebunan tersebut dirawat dan dijaga oleh budak-budak dari luar daerah dan penduduk asli setempat. Para budak-budak itu dibebaskan dengan syarat harus pindah agama Katolik.
Gereja Paroki dan Masyarakat Katolik
Berdirinya Paroki Kampung Sawah St. Servatius tak lepas dari pembabtisan 18 orang Kampung Sawah oleh Pastor Bernardus Schweitz. Setahun setelah pembabtisan, Pastor Bernardus membeli rumah sederhana untuk dijadikan tempat ibadah. Lantas Pastor Bernardus mengangkat Engku Natanel sebagai ketua stasi sekaligus guru agama bersama dengan Markus Ibrahim Kaiin.
Pada saat 1902 hingga 1904, Gereja Katolik dilarang menyelenggarakan kegiatan di Kampung Sawah. Namun, menukil Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era Reformasi, karya Haidlor Ali Ahmad, dinyatakan pada 1922 Rm. J. Van Der Loo, SJ mendirikan gereja baru yang dilengkapi dengan sebuah menara di tanah persawahan lokasi gereja itu.
Kepemimpinan Pastor Oscar Cremers pada 1935 membawa perubahan dalam salah satu tradisi umat gereja. Pada 24 Oktober 1936, Pastor Oscar memberkati sekolah misi dengan nama Rooms Katholieke Vervolgschool. Pemberkatan selanjutnya diikuti saat musim panen padi tiba sebagai bentuk ungkapan rasa syukur umat pada 13 Mei bernama “Sedekah Bumi”. Dan, keesokan harinya turut diadakan doa bersama oleh tokoh asli Kampung Sawah berbagai agama. Pesta dilakukan pada misa sore hari dengan nyanyian pengiring Misa bernuansa Betawi.
Riwayat Keberagaman Beragama Betawi Kampung Sawah Gereja Bernuansa Betawi
Tahun 1972 hingga 1973, para pastor Kampung Sawah tinggal di Cililitan sehingga Kampung Sawah menjadi stasi kembali. Tahun 1978, datanglah Suster Pauline, OSU yang menjadi kepala SMP Strada di Kampung Sawah. Lalu Suster Pauline menggagas berdirinya proyek Karang Kitri Kampung Sawah dengan tujuan membantu warga yang tak mampu. Pada 1988, Aloysius Yun Noron, putra asli Kampung Sawah ditahbiskan menjadi imam asli Kampung Sawah pertama setelah 92 tahun pembabtisan pertama.
Sejak saat itu, seni budaya Betawi seperti pentas topeng, wayang kulit Betawi, pakaian adat Betawi hingga iringan musik tanjidor kerap digunakan pastor-pastor untuk kegiatan di Gereja Kampung Sawah. Tepatnya pada tahun 1944, nama Paroki St. Antonius diganti menjadi St. Servatius. Gereja Santu Servatius merupakan Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ yang memberkati Gereja Santo Servatius Kampung Sawah. Pemberkatan Gereja diikuti oleh 4.294 umat paroki dan dimeriahkan dengan musik tanjidor.
Lanny, warga Kampung Sawah menyatakan bahwa kerukunan umat beragama, baik itu Islam, Katolik maupun Protestan telah berlangsung sejak zaman dahulu. Tahun 1960, Kepala Desa Pedurenan, Lurah Awi yang beragama Islam juga turut membangun Gereja Pasundan. Tak hanya saat pendirian rumah ibadah, hubungan harmonis juga terwujud dalam beragam acara keagamaan. Misalnya, umat Muslim berkunjung pada tetangga non Muslim dengan membawa makanan pada hari Raya Idul Fitri.
“Sebaliknya, saat Natal nanti kaum Kristiani berkunjung ke rumah orang Islam dengan membawa makanan. Ini udah tradisi turun temurun,” ujarnya kepada senibudayabetawi.com, Jumat (24/12).
Kerukunan terjadi di masyarakat Kampung Sawah karena adanya kerekatan interaksi sosial antar masyarakat dan peran budaya lokalnya. Seperti halnya masyarakat Katolik Santo Servatius, umat Kristen Pasundan juga tetap mempertahankan kebudayaan lokalnya dengan tetap mengenaan pakaian adat Betawi. Misalnya, laki-laki mengenakan peci, baju koko serta pangsi. Sedangkan perempuan mengenakan kebaya encim dan kerudung.
Ramadani Wahyu