Irama Krontjoeng Toegoe, Suara Mardijkers di Masa Lalu di Nusantara — Tempo rancak nan dinamis terdengar begitu khas dari grup musik Krontjong Toegoe, Kampung Tugu, Jakarta Utara. Lain halnya dengan irama musik kroncong Solo yang lebih bernuansa melankonis. Nuansa yang energik itu tak lepas dari jejak nenek moyang orang-orang Portugis.
Keberadaan orang-orang Kampung Tugu tak lepas dari sejarah kota perdagangan di Malaka. Tahun 1511 hingga 1641, Portugis berhasil menduduki wilayah itu. Tetapi, tak berselang lama pada 1648, Belanda mengambil alih sehingga para bangsa Malaka dari Bengal, Goa, serta Malabar dijadikan budak dan tawanan perang. Mereka akhirnya dibawa ke Batavia dan dijadikan serdadu VOC pada 1661. Sebanyak 23 family 150 orang menuju hutan rawa-rawa yang kemudian disebut sebagai Kampung Tugu.
Fam Mardijiker
Menurut keturunan ke-10 dari Letnan Mardijiker, Jonathan Michiels, Arthur James Michiels, para budak dan tawanan VOC tersebut disebut dengan para Mardijkers usai dibebaskan bersyarat. Adapun dalam bahasa Sansekerta Mardijkers berarti “bebas dari perbudakan”. Arthur melanjutkan, kebiasaan di waktu sengganglah yang membuat mereka akhirnya bermain musik. “Crong-crong” begitulah bunyi musik yang merupakan muasal dipanggilnya musik kroncong ini.
“Mereka membawa alat-alat musik seperti machina dan jitera,” ujar personel Grup Musik Krontjong Toegoe ini kepada senibudayabetawi.com, beberapa waktu lalu.
Irama rancak dan dinamis yang merupakan ciri khas Keroncong Tugu sehingga membedakannya dengan keroncong lainnya. Tepatnya pada 1880-an saat musik keroncong telah mewabah Nasional sehingga pada 1925 dibentuklah grup musik Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe Anno. Menurut Arthur, selain iramanya yang dinamis, ciri khas musik keroncong Tugu diantaranya, berirama sederhana, tak menggunakan fluete sebagai alat musik keroncong.
“Dan yang paling penting, kami keroncong tapi tak membatasi musik asli keroncong yang seperti apa. Karena apakah itu stambul dan langgam kami bawakan semuanya,” imbuh Arthur.
Menurut Arthur, tak mudah untuk mengenalkan dan memastikan agar musik keroncong digemari anak-anak zaman sekarang. Dan, tanpa menanggalkan ciri khas keroncong Tugu, ia ingin agar anak-anak lebih tertarik dengan musik keroncong sebagai musik Nusantara dibanding musik asing lainnya. “Yang penting sedari awal ditanamkan bahwa semua lagu adalah (bisa) menjadi keroncong,” imbuh dia.
Ciri khas lain yang kuat dalam grup musik Krontjong Toegoe juga tampak dari kostum penampilan yang mereka bawakan. Tampak mereka juga turut mengenakan pakaian khas Betawi baju sadariah dengan celana batik, serta topi dan syal khas Portugis. Dengan memiliki citra yang kuat inilah, Irama Krontjoeng Toegoe, suara Mardijkers di masa laluberlenggang dari panggung ke panggung.
Laris di Kancah Mancanegara
Tak sekadar terkenal di Nusantara, Krontjong Toegoe juga kerap mendengungkan suaranya di kancah mancanegara. Salah satunya, Krontjong Toegoe pernah diundang menjadi bintang perayaan lima tahun dalam rangka penetapan Fado warisan budaya dunia di Lisbon, Portugal. Penampilan manis mereka meninggalkan kesan mendalam bagi penonton di sana.
“Awalnya mereka kaget ini jenis musik apa karena kita menggunakan lirik bahasa Kreol,” ujar dia.
Memastikan musik keroncong untuk tetap lestari merupakan tanggung jawab berkelanjutan. Ini tak lain untuk menjaga nilai-nilai tradisi dan historis yang dimiliki Kampung Tugu. Alhasil, grup Krontjong Toegoe masih tetap eksis hingga saat ini dengan membawakan ciri khasnya yang kuat tak termakan oleh zaman.
Ramadani Wahyu