Jakarta (senibudayabetawi.com)– Nasib Perempuan Betawi Dahulu dan Kini– Peringatan Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada 8 Maret menjadi momentum untuk merayakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks budaya Betawi, sifat egaliter masyarakat Betawi hendaknya tak sekadar berlaku dalam menyambut peleburan dengan budaya lain. Akan tetapi, harus dipastikan dalam konteks posisi laki-laki dan perempuan dan peranannya dalam masyarakat.
Ketua Umum Persatuan Wanita Betawi Roosyana Hasbullah menyatakan peringatan Hari Perempuan Sedunia menjadi momen sebagaimana posisi perempuan Betawi harus terus dimajukan dalam berbagai aspek kehidupan. Sejarah masa lalu, sambungnya terkait dengan nasib marginalisasi kaum perempuan hendaknya tak terjadi lagi.
“Sejak zaman Belanda dulu selalu pedagang lelaki yang harus maju. Sedangkan perempuan di dapur saja. Nah, kita mendobrak itu semua agar ada kesetaraan dan pemajuan tiga pilar, yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi,” ujarnya kepada senibudayabetawi.com, beberapa waktu lalu.
Sikap dan kebiasaan perempuan Betawi tak jauh dari nilai-nilai dan tradisi zaman dahulu. Menilik dari historisnya, kemunculan etnis Betawi masih memunculkan berbagai perdebatan. Banyak pakar yang cenderung memulai garis awal sejarah Betawi pada era penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan memberikan nama baru yaitu “Jayakarta”. Sementara menurut Lance Castle dalam buku Profil Etnik Jakarta, penduduk asli Jakarta berawal dari hasil pencampuran etnis terutama berasal dari kalangan budak.
Sejarah Masa Lalu
Dalam proses asimilasi tersebut, Betawi memiliki kesamaan dalam hal adat istiadat yang berasal dari akulturasi budaya. Misalnya etnis Betawi yang sangat lekat dengan tradisi keislamannya.
Pada abad ke 19, seiring dengan perkembangan dakwah Islam, semakin meningkat pula munculnya ulama dan habib terkemuda. Akulturasi budaya juga memberikan dampak signifikan terhadap kaum perempuan Betawi. Imbasnya, sikap dan kebiasaan kalangan perempuan sangat terbatas karena adanya pergaulan sehari-hari yang lekat dengan nilai-nilai tradisi Islam yang melekat dalam kebetawian.
Dalam buku Gerak Langkah Orang Betawi laporan penelitian Mirna Elfira (2012), menyebut
perempuan Betawi kerap dikatakan sebagai perempuan kolot atau ketinggalan zaman dan menjadi stereotip. Imbasnya, secara tak langsung kaum perempuan Betawi termarjinalisasi oleh wacana yang berkembang dan menjadikan kaum perempuan Betawi sulit untuk bersaing di ranah publik.
Akan tetapi, stereotip negatif tersebut berlawanan dengan realitas keseharian Betawi yang mereka jalani. Padahal, sejatinya banyak hal yang telah dilakukan perempuan Betawi dalam memberdayakan kaum perempuan dan tidak sekadar ranah domestik.
Beban stereotip tersebut, masih menurut Mirna berasal dari sistem patriarki. Sistem patriarki ini juga bermula dari pengaruh dengan budaya lain. Misalnya, pengaruh budaya Arab, Cina, dan Barat yang memiliki sistem kekerabatan, keluarga maupun organisasi sosial yang patiraki; terdapat sistem keturunan yang patrilineal; serta terdapat sistem tempat tinggal yang patrilokal.
Melawan Keterpinggiran — Nasib Perempuan Betawi Dahulu dan Kini
Sistem-sistem tersebut masih digunakan oleh masyarakat Betawi yang menjadikan kaum perempuan Betawi tersubordinasi oleh dominasi kaum lelaki. Misalnya peran perempuan lebih diarahkan pada ranah domestik seperti rumah, sumur, dapur dan subordinat dibanding laki-laki di ranah publik.
Nilai-nilai budaya dan religi yang kuat dalam masyarakat Betawi turut memberikan pengaruh dalam menentukan aktivitas dan posisi kaum perempuan Betawi.
Roosyana Hasbullah berharap, seiring perkembangan zaman semakin banyak perempuan Betawi yang memiliki kesadaran untuk berkontribusi dalam lingkungan dan masyarakat. Ia menyebut, saat ini sudah banyak perempuan-perempuan Betawi yang aktif dalam aktivitas publik, seperti menjadi politisi hingga aktivis.
Di sisi lain, Rossy menegaskan bahwa meski perempuan Betawi menunjukkan eksistensinya, tapi jangan lupakan fitrah sebagai perempuan. Misalnya, dalam hal menyusui dan melahirkan. “Ini sebagaimana fisik kita yang memang tak sama dengan lelaki. Kita boleh maju, asal tak melupakan fitrah,” ujarnya.
Ramadani Wahyu