Senibudayabetawi.com – Proses Islamisasi dan Perkembangan Ulama–ulama Betawi – Proses Islamisasi Jakarta tak lepas dari keberhasilan ekspedisi Fatahillah menaklukkan kekuasaan Pajajaran atas Sunda Kalapa. Ini memperlihatkan fakta bahwa di awal perkembangannya, dakwah Islam di Jakarta dan sekitarnya memperoleh dorongan yang kuat hingga berkembang seperti sekarang.
Jayakarta di bawah Fatahillah menjadi titik tolak payung perkembangan Islamisasi. Utamanya, saat Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia guna mengusir penjajahan Belanda. Kendati ekspedisi itu gagal secara militer, tap dari segi kultural usaha Sultan Agung membuahkan hasil. Para tumenggung Mataram yang sejatinya merupakan juru dakwah telah mempelopori berdirinya surau-surau di Jakarta yang kelak menjadi masjid.
Bukti-bukti otentik berupa masjid tua di Jakarta telah berhasil menjawab. Misalnya, masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada tahun 1717. Masjid-masjid lainnya, yaitu masjid Pekojan (1750), masjid Angke (1760), masjid Kampung Bandan, serta masjid Luar Batang yang tahun berdirinya sekitar dasawarsa akhir abad ke-18. Adapun masjid paling tua yaitu masjid Marunda yang diperkirakan telah berdiri dalam bentuk langgar pada awal abad ke-17.
Proses Islamisasi dan Perkembangan Ulama-ulama Betawi
Menurut C.C. Berg orang-orang Hadramaut baru berdatangan di Jakarta pada akhir abad ke-18 untuk berniaga. Meski pada awalnya mereka sekadar berniat untuk berniaga, tetapi akhirnya mereka terlibat dalam gerakan dakwah. Salah satu tokoh yang terkenal yaitu Sayyid Alaydrus pendiri masjid Luar Batang.
Mengutip Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya karya Ridwan Saidi (1997), orang-orang perantau Hadramaut itu sendiri banyak yang menikah dengan orang Betawi dan selanjutnya mereka sebut sebagai orang Melayu. Sementara orang-orang keturunan Arab menyebut orang Indonesia sebagai akhwal, yang artinya saudara ibu.
Menjelang abad ke-19, banyak orang Betawi banyak yang turut ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Tak hanya itu, ulama Betawi juga mengambil peran penting di sana. C.Snouck Hurgronje menyebut seorang ulama Betawi yang menjadi imam di masjid Al Haram yaitu Syekh Djuneid Al Batawy yang bermukim di Mekah pada tahun 1834.
Salah satunya yaitu murid sekaligus menantu Syekh Djuneid Al Batawy yaitu Guru Mujtaba dari kampung Mester yang bermukim di Mekah pada tahun 1860-an. Jauh sebelum bermukim di Mekah, Guru Mujtaba telah beristri seorang wanita Betawi.
Dakwah dan Ngaji
Karena alimnya, Guru Mujtaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Guru Mujiaba juga diketahui satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syekh Nawawi Banten dan Syekh Akhmad Khatib Al Minangkabawi.
Guru Mujtaba hanya sewaktu-waktu datang ke Betawi untuk menjenguk isteri pertamanya. Karena kunjungannya yang singkat, Guru Mujtaba tidak membangun madrasah Islamiyah di Betawi. Orang-orang Betawi berguru padanya ketika ia bermukim di Mekkah selama 40 tahun. Murid-muridnya yaitu Guru Mansur Jembatan Lima dan Guru Mughni dari Kampung Kuningan.
Guru Mujtaba kembali ke Betawi pada tahun 1904. Ulama Betawi yang satu generasi dengannya yaitu Guru Marjuki, Mester. Guru Marjuki mendidik ulama Betawi seperti K.H. Abdullah Syafii. Guru Marjuki adalah murid Guru Bakir yang bergelar birrulwaldain anak yang berkhidmat kepada orang tua.
Kebanyakan ulama-ulama Betawi itu memiliki kemahiran yang sama dalam berdawah, baik secara lisan maupun tertulis. Guru Mansur telah menulis 19 kitab berbahasa Arab. Lidah Betawi umumnya dapat diterima oleh telinga masyarakat di Nusantara. Selain itu, ulama Betawi, mempunyai selera humor yang tinggi sehingga semakin menghidupkan nuansa berdakwah.