Senibudayabetawi.com– Ada Jagoan Alim hingga Bengal, Inilah Jagoan–jagoan Betawi Tempo Dulu – Dibanding silat daerah lainnya, perkembangan silat atau maen pukulan Betawi sangatlah pesat. G.J Nawi dalam buku Maen Pukulan, Pencak Silat Khas Betawi (2016) menyebut terdapat 317 aliran maen pukulan, mulai dari Betawi Pesisir, Betawi Tengah, hingga Betawi Pinggir dan Udik. Padahal menilik dari sejarahnya, peta silsilah para jagoan Betawi sangat sulit dilacak. Ini tak lain karena konon tempo dulu pengajarannya lebih tertutup dan bersifat rahasia.
Awal munculnya Jago Betawi ini berasal dari gejolak sosial dan perlawanan masyarakat tani pada zaman kolonial Belanda. Pada saat itu, hampir tiap kampung di Betawi memiliki Jago dan aliran maen pukulan. Seolah tak kehilangan akal, pemerintah kolonial Belanda justru menanggapi kemunculan para Jago dengan politik Devide et Impera.
Dengan merekrut orang pribumi yang memiliki kepandaian bela diri menyamai jago, Belanda menjadikan mereka sebagai penguasa tanah perkebunan. Mereka diperkejakan sebagai mandor, centeng, tukang pukul hingga jabatan resmi dalam birokrasi mereka, Wijkmeester (tuan Bek). Karena menyalahi kedudukan sebagai Jago, masyarakat menyebut pengkhianat ini dengan nama Jagoan.
Ada Jagoan Alim hingga Bengal, Inilah Jagoan–jagoan Betawi Tempo Dulu
Kendati demikian, mengutip Profil Orang Betawi Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya oleh Ridwan Saidi (2001), jagoan Betawi dibagi menjadi dua tipe. Mereka yaitu jagoan alim dan jagoan bengal. Jagoan alim asal Kemayoran bernama Murtado dikenal pada akhir abad ke-19. Sementara, tipe jagoan bengal diwujudkan dalam sosok si Pitung di Kampung Rawa Belong. Jauh sebelum Si Pitung, jagoan bengal lainnya yaitu Puasa atau Kuasa dari kampung Kwitang yang dikenal pada awal abad ke-19.
Adapun untuk generasi pelanjut jagoan alim yaitu Haji Ung. Jagoan yang juga seangkatan dengan Haji Ung, yakni Ja’man, berasal dari Sao Besar atau Sawah Besar. Ada lagi angkatan mereka yang juga terkenal pada masanya, yakni Haji Entong dari Condet. Pada tahun 1916, Haji Entong tewas dalam perlawanananya dengan Belanda. Angkatan berikutnya yaitu Sabeni dan Jeni dari Tenabang atau Tanah Abang.
Angkatan selanjutnya yaitu H. Darip dari Kampung Klender dan Mujitaba dari Petamburan. Pada tahun bersamaan, muncul pula Haji Mat Item yang pada akhir hidupnya menjadi jagoan bengal. Mereka muncul pada dasawarsa 1930-an.
Derahman Jeni adalah putera dan murid Jeni, Derahman Deos adalah salah seorang murid Jaman yang termuda usianya , yang boleh dikatakan sejaman dengan Saibun dari Kemayoran, dan Bir Ali dari kampung Cikini. Mereka muncul pada dasawarsa 1940-an. Pada dasawarsa 1950-an muncul nama Imam Syafiie dan Akhmad B. alias Mat Bendot dari Senen/Tanah Tinggi.
Pada zaman mutakhir yaitu dasawarsa 1960-an muncul nama Haji Aseni dari kampung Petamburan. Setelah era Haji Aseni struktur masyarakat di Jakarta semakin kompleks sehingga figur jagoan tidak lagi menonjol sebagaimana masa lalu.