Menilik Anak-anak Betawi Tempo Dulu Ngabuburit

Menilik Anak-anak Betawi Tempo Dulu Ngabuburit

Senibudayabetawi.com– Menilik Anak-anak Betawi Tempo Dulu Ngabuburit — Semarak Ramadhan selalu menghadirkan kebersamaan dan kegembiraan. Bagaimana tidak, selain sebagai bulan suci mencari berkah pahala, bulan ini juga menghadirkan kebersamaan. Utamanya, masa-masa menunggu berbuka yang banyak dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan menarik. Salah satunya dilakukan pula oleh anak-anak Betawi tempo dulu.

Anak-anak Betawi tempo dulu sangat akrab dengan tempat ibadah, langgar atau mushola. Selain melakukan kegiatan khataman Qur’an, momen ngabuburit atau menunggu waktu berbuka puasa kerap digunakan untuk permainan adu bedug. Hampir semua kampung di Betawi konon melakukan adu bedug diiringi dengan nuansa irama yang asyik. 

Ketua Litbang Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra menyebut, adu bedug memicu keasyikan tersendiri. Salah satunya yaitu bedug khas Bang Atam bernama dangdengdang. Menariknya, tabuhan bedug ini sangat khas, yakni bertempo pelan tapi jelas terdengar antara nabuh tengah, pinggir, dan nabuh pukulan dua. 

Menilik Anak-anak Betawi Tempo Dulu Ngabuburit

Tak hanya itu, penabuh bedug tempo dulu, konon di Betawi juga memiliki tenaga yang luar biasa, yakni mampu menabuh tanpa jeda. Padahal rata-rata penabuh bedug di Indonesia mampu menabuh maksimal 15 menit saja. “Kombinasi tabuhan tektek dan ngeter sungguh nikmat didengar. Tapi ada juga cara nabuh bedug lainnya,” ujar dia.

Tak disangkal lagi bulan Ramadhan terbukti merupakan bulan yang mampu menyemarakkan kebersamaan. Meski anak-anak harus menahan haus dan lapar, anak-anak tetap bersemangat merayakan kebersamaan. Mereka tetap bermain bersama, misalnya bermain gundu, kelereng, hingga gala asin, dan tok kadal. Tak jarang mereka juga kerap bermain bentengan.

Yahya menyebut, sedangkan anak-anak perempuan memainkan permainan berbeda. Misalnya maen samse, lompat karet, congklak, cici putri, wak wak gung. “Semua permainan itu dilakukan bersama-sama sedianya anak yang kumpul. Nggak dipatok harus berjumlah sekian orang, barulah kita dapat bermain. Tidak seperti itu,” ujar dia. 

Menariknya, permainan yang khas dan selalu ada dan tak pernah ketinggalan, yakni bleduran. Sekilas permainan ini mengeluarkan suara layaknya petasan, tapi menggunakan bahan yang sederhana dari bambu besar. Setiap usai sholat tarawih, anak-anak kerap memainkan bleduran dan semakin menyemarakkan nuansa Ramadhan.

Yahya menyebut, asal usul bleduran belum diketahui secara pasti. Namun, anak-anak telah akrab dengan permainan ini sejak tempo dulu. “Namun, apabila dikaitkan dengan nama meriem atau meriam, yaitu jenis senjata berat yang larasnya besar dan panjang, pelurunya besar, dan sering diberi roda untuk memudahkan memindahkannya, maka masyarakat Betawi sudah mengenal sejak lama satu meriam yang legendaris, yakni Meriam Si Jagur.” jelas dia.

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.