Menilik Masjid Para Imigran di Tanah Betawi

Menilik Masjid Para Imigran di Tanah Betawi

Senibudayabetawi.com– Menilik Masjid Para Imigran di Tanah Betawi — Jakarta telah dikenal sebagai simpul perdagangan dan persinggahan berbagai kota maupun negara di luar negeri sejak tempo dahulu. Rekam jejak mereka tergambar jelas karena berbagai peninggalan dan bukti fisik bangunan sejarahnya. Salah satunya masjid. Masjid di tanah Betawi tak sekadar menyimpan bukti sebagai proses Islamisasi, tapi sebagai bukti peninggalan para pendatang. 

Kawasan Glodok misalnya selalu dikelilingi oleh banyak masjid tua.Tepatnya di Jalan Pengukiran II terdapat sebuah masjid kecil bernama Al-Anshor. Mengutip Betawi: Queen of The East karya Alwi Shahab (2002), kata seorang pengurus masjid tersebut, masjid tua itu didirikan oleh para pendatang dari Malabar (India), pada abad ke-17, tepatnya pada 1648.

Berbeda halnya dengan masjid-masjid lainnya, masjid Al-Anshor yang dulunya luas dan terdapat pemakaman, kini sudah menyatu dengan rumah-rumah penduduk. Sudah tak ada lagi yang tersisa untuk pekarangan masjid. Tak diketahui juga berapa lama masjid ini digunakan oleh para imigran India. Para imigran dari negeri martabak  yang datang belakangan mendirikan sebuah masjid lainnya, tak jauh dari masjid ini.

Masjid lain yakni Masjid Kampung Baru yang dibangun di Jalan Bandengan Selatan 34. Didirikan pada 1748, kini hanya tersisa beberapa dari bangunan aslinya. Seperti empat tiang penyangga dan beberapa pilar kecil pada jendela.

Menilik Masjid Para Imigran di Tanah Betawi

Tak jauh dari tempat itu pula di tepi Kali Angke di Jalan Pekojan, Jakarta Barat terdapat sebuah surau yang diberi nama Langgar Tinggi. Disebut demikian karena langgar ini agak tinggi dan berlantai dua. Para muslim India juga berperan dalam membangun masjid atau surau ini.

Tepatnya di Jalan Pekojan juga terdapat masjid tua yang dibangun pada abad ke-18. Masjid an-Nawier ini erat kaitannya dengan masjid kuno di Keraton Surakarta dan Keraton Banten. “Menurut Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta, masjid Pekojan yang dapat menampung hingga 2000 jamaah, masa lalu merupakan salah satu masjid yang berperan dalam penyebaran islam,” kata Alwi Shahab.

Sentuhan Arsitektur Cina

Masjid yang lekat dengan sentuhan arsitektur tampak pada masjid di Kebon Jeruk dan Angke. Bahkan di Merjis Kebon Jeruk, dekat penyeberangan Sawah Besar -Ketapang kubahnya ,mendapatkan arsitektur Cina.

Berdiri pada 1786, masjid ini merupakan masjid pertama bagi peranakan Cina (istilah orang Cina masuk Islam) di daerah Glodok. Di tempat ini pula terdapat makam Ny Cai, istri pendiri masjid tersebut, Kapiten Tschoa. Kapiten inilah yang ketika itu memimpin masyarakat Muslim di Batavia. 

Masjid Tambora yang terletak di tepi Kali Blandongan (anak kali Ciliwung) mempunyai kisah menarik. Masjid ini dua abad yang lalu dibangun oleh orang-orang bekas tahanan Belanda. Ketika itu, di daerah yang sekarang berdiri masjid megah ini, datang dari sekelompok orang dari kaki pegunungan Tambora di Sumbawa.

Masjid Tambora

Mereka dibuang ke Batavia untuk kerja paksa (rodi) akibat menentang kekuasaan Belanda. Setelah mereka bebas, mereka memilih tinggal di daerah itu. Pada 1181 di bawah kepemimpinan Ki Mustadjib, tokoh masyarakat Tambora, kemudian mereka mendirikan sebuah masjid bernama Masjid Tambora.

Masih di kawasan yang sama, terdapat sebuah masjid kuno lainnya yakni Masjid Al-Mansyur yang didirikan permulaan abad ke-18 oleh Abdul Mihad, putra dari Pangeran Tjakrajaya, sepupu dari Tumenggung Mataram. Keberangkatannya ke Jakarta dalam rangka membantu rakyat Jayakarta untuk mengusir VOC.

Sayangnya perlawanannya secara fisik tersebut tak berhasil maka Abdul Mihad berusaha melalui jalan lain yakni menentang penjajahan dengan mendirikan masjid (1717). “Di masjid inilah ia mengadakan ceramah-ceramah untuk menggelorakan semangat rakyat menentang penjajah,” ujar dia.

Pada tahun 1947, masjid ini juga pernah ditembaki pasukan NICA. Pasalnya, KH Moh Mansyur, pimpinan masjid saat itu memasang bendera Sang Saka Merah Putih di puncak menaranya. Kyai Mansyur kemudian ditangkap Belanda. Baru setelah wafat pada 12 Mei 1967, masjid ini dinamakan Masjid KH. Moh. Mansyur, sekaligus menjadi jalan utama di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.