Menilik Makna di Balik Selendang Penari Cokek

Tari Cokek, Tempo Dulu dan Kini

Senibudayabetawi.com –  Tari Cokek, Tempo Dulu dan Kini – Dalam bidang kesenian, masyarakat Betawi memiliki keberagaman seni tradisional yang lahir karena perkawinan kebudayaan yang berkembang di dalamnya. Salah satunya adalah Tari Cokek

Tari Cokek merupakan salah satu tarian tradisional Betawi yang lahir pada abad ke-19. Tarian yang berasal dari hasil akulturasi produk budaya bangsa Cina, Banten dan Betawi ini cukup populer dibanding tari-tarian lain. Ini tak lain karena tarian ini kerap kali dipertunjukkan dalam berbagai acara-tamu penting, seperti publik figur hingga pejabat negara. Ini berbanding terbalik dengan sejarah perkembangan Tarian Cokek tempo dulu yang ternyata lekat dengan kesenian masyarakat Betawi pinggir.

Sejarah Tari Cokek

Tari Cokek merupakan  kesenian yang lahir di lingkungan masyarakat Betawi-Tionghoa di pinggiran ibukota Jakarta, tepatnya  di Teluk Naga, Tangerang. Melansir Clarissa Amelinda dalam publikasinya yang berjudul Eksistensi Tari Cokek Sebagai Hasil Akulturasi Budaya Tionghoa Dengan Budaya Betawi, cokek merupakan salah satu hiburan unggulan, karena luas penyebarannya cepat juga banyak digemari masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran.

Tempo dulu, pada setiap gelaran pesta hiburan tak lepas dari perayaan  perkawinan hingga pesta sunatan, para penari Cokek mempertunjukkan kepiawaiannya menari sambil menyanyi yang diiringi musik Gambang Kromong. 

Sementara menukil tulisan Phoa Kian Sioe (1949), awalnya cokek  dimiliki para cukong atau pimpinan masyarakat Tionghoa yang telah diangkat oleh Belanda. Para cukong ini terdiri atas para kapten dan anak-anaknya. Konon, wayang cokek diberikan rumah khusus, ‘koan wayang’. Di rumah ini, cokek diberi pelatihan khusus berupa menyanyi dan menari oleh para wayang cokek senior.

Wayang cokek senior juga sebagai perias wayang cokek dengan baju kurung sutra merah berkancing intan dan perhiasan mahal. Nilai perhiasan itu sebagai tanda derajat gengsi pada tuannya, sehingga tidak sembarang orang dapat mendekati wayang cokek.

Tari cokek awalnya ditarikan oleh tiga orang perempuan sebagai pelengkap ritual pesta rakyat. Seiring berjalannya waktu, tari cokek berkembang menjadi tari berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Kata ‘cokek/ diambil dari nama tuan tanah yang bernama ‘Tan Chiou Kek’, orang yang pertama kalinya mengilhami pertunjukan ini.

Di Betawi sendiri, penyebutan ‘cokek’ merupakan hasil kesepakatan bersama dari masyarakat Betawi yang tinggal di daerah pesisir dan pinggir Kota Jakarta untuk mempermudah penyebutan ‘chioun kek’ menjadi ‘cokek’ yang berasal dari ‘Tan Chiou Kek’.

Makna Tari Cokek

Mengutip  Singgih Wibisono dalam buku Ikhtisar Kesenian Betawi, Tari Cokek, Tempo Dulu dan Kini tak sekadar menjadi kesenian khas tradisional Betawi. Akan tetapi, tempo dulu tarian ini sekaligus bertujuan memikat para tamu lelaki untuk ikut serta ngibing. Itulah kenapa tarian ini juga kerap disebut sebagai tarian pergaulan.

Tak hanya itu,  bagi beberapa pandangan Tari Cokek memiliki makna khusus yang positif dari setiap gerakannya. Salah satu di antaranya adalah gerakan tangan ke atas yang memiliki arti meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam Tari Cokek terdapat gerakan menunjuk ke arah mata yang memiliki arti sebagai upaya manusia dalam menjaga pandangannya, utamanya dari hal-hal yang tidak baik atau negatif. Selain itu, terdapat gerakan terakhir yang dianggap memiliki makna adalah gerakan menunjuk kening. Makna dari gerakan ini tak lain yaitu manusia harus menggunakan akalnya untuk memikirkan hal-hal yang bersifat positif.

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.