Senibudayabetawi.com – Merekam Betawi Masa Kini melalui Rupa – Sejak tempo dulu Betawi identik dengan keterbukaannya terhadap berbagai macam suku, budaya hingga etnis lain dari luar. Pusat urban ini menjadi ajang banyak orang dari berbagai daerah untuk menumpahkan harapan dan cita-citanya. Akan tetapi, di sisi lain hal itu memicu sempitnya ruang sehingga masyarakat Betawi merasa tergusur dan terpinggirkan.
Sekitar 40 seniman dari Kilau Art Studio merekam kegelisahan-kegelisahan tersebut melalui pameran seni rupa “Betawi Masa Kini, Masa Gitu,?”. Berbagai macam karya mulai dari lukisan, fotografi, hingga instalasi tumpah ruah menggambarkan kondisi Betawi terkini di Galeri Annex Taman Ismail Marzuki (TIM).
Modernitas Jakarta dan Keterpinggiran Betawi
Pameran ini bisa dibilang sebagai ekshibisi pertama di Galeri Annex saat proses renovasi TIM. Tampak sebuah instalasi rumah-rumah kecil yang terbuat dari bambu tampak menjulang ke atas. Kekumuhan tampak lekat menggambarkan situasi masyarakat Betawi yang kini telah tergusur dari pusat kota. Rumah-rumah kecil karya seniman Asmoadji berjudul “Menumpuk Menimbanh Sekitar” tersebut berukuran 60 sentimeter x 55 sentimeter x 125 sentimeter itu.
Penggambaran Jakarta terlihat sangat megah dan seolah timpang dengan karya Asmoadji tersebut. Salah satunya terlihat jelas dalam karya lukisan berjudul ”Batang-batang Terakhir #1” karya Adelano Wibowo. Perkembangan Jakarta yang sangat pesat menyuarakan sebagai Jakarta simbol kota modern.
Akan tetapi, di sisi lain pesatnya kota Jakarta justru berdampak pada lingkungan. Pesatnya pembangunan gedung-gedung bertingkat mengubah ruang terbuka hijau menjadi ”hutan beton” Hal ini tentu berdampak buruk pada lingkungan.
Pesan tersebut tampak jelas dalam obyek berupa gambar ikan kecil menelan sikat gigi di bagian pinggir lukisan berjudul ”Ecology Jangan Lupa Yee”. Terlihat dari judul tersebut sangat lekat akan bahasa Betawi. Karya perupa Hagung Sihag itu menjadi salah satu lukisan yang menarik perhatian pengunjung.
Seni Budaya Betawi
Ketua Kilau Art Studio Saepul Bahri menyatakan kendati tengah tergusur oleh masyarakat urban, peran penting etnis Betawi tak dapat tergantikan. Demikian meski terlihat tergusur dan terpinggirkan dibanding kaum urban, tapi budaya Betawi tak pernah lekang oleh zaman. Justru, kehadiran masyarakat urban mampu membuat budaya Betawi lebih dinamis.
“Seperti dalam karya Agustan dengan judul “Ondel-Ondel and Me” tak lagi dimaknai sebagai boneka besar raksasa dengan kedok dan kembang kelapa, tapi lebih ke bentuk boneka dalam kanvas dengan simboliknya berupa tiga gelembung sebagai objek utama pengganti kedok,” ujar dia kepada senibudayabetawi.com, Kamis (9/6).
Ia mengatakan, pameran itu dipersiapkan dalam waktu sebulan. Seniman diminta mengeksplorasi mengenai Betawi dan Jakarta dari zaman dahulu hingga saat ini dan menuangkannya dalam karya seni.
”Ini sebagai demagog yang membawa optimisme masyarakat Jakarta. Perubahan akan terus berjalan, tetapi Jakarta tidak boleh kehilangan rohnya,” katanya.
Selain itu, tampak tradisi budaya Palang Pintu yang merupakan perpaduan dari silat dan pantun dari Betawi dalam lukisan Pantun Arief Hidayat berjudul “Pantun Palang Pintu”.
Merekam Betawi Masa Kini melalui Rupa
Dalam keterangannya, kurator pameran ini, Rengga Satria menyatakan bahwa Betawi merupakan etnis yang lahir dari dinamika kehidupan masyarakat di Batavia pada awal abad ke-19. Di ketahui, kala itu Batavia dikenal sebagai kota yang super sibuk dan dihuni oleh masyarakat dari beragam suku bangsa, baik itu dari penjuru nusantara maupun mancanegara (Cina, Gujarat, Arab, Persia dan Eropa).
Meski begitu, dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban kota, Pemerintah Hindia Belanda dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang menjadi penguasa Kota Batavia kala itu tidak mengizinkan masyarakat dari beragam etnis tersebut untuk berinteraksi satu sama lain.
Muasal Betawi
Namun nampaknya, upaya tersebut sia-sia. Masyarakat dari multi etnis itu tetap saling berinteraksi, baik untuk kepentingan dagang, bekerja maupun sekedar bersosialisasi. Semakin eratnya hubungan antara masyarakat di Kota Batavia juga memunculkan fenomena “kawin campur,” yakni pernikahan antara dua orang yang berasal dari etnis atau suku yang berbeda. Anak-anak yang lahir dari proses “kawin campur” tersebutlah yang kemudian disebut sebagai masyarakat Betawi.
Sementara untuk asal-usul kata “Betawi”, hingga saat ini belum bisa dipastikan sumbernya. Kata “Betawi” dikenalkan ke publik oleh M. Husni Thamrin ketika dia menjadi anggota Dewan Kota Geementeraad Betawi. Hal tersebut membuat etnis Betawi sejajar dengan etnis lainnya, seperti Jawa atau Sunda. Sekaligus mendorong Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui secara resmi eksistensi etnis Betawi pada tahun 1919.