Senibudayabetawi.com – Eksistensi Para Ulama Perempuan Betawi Tempo Dulu – Meski kiprah para perempuan ulama Betawi tak melejit layaknya para ulama lelaki. Akan tetapi, status dan tugas keulamaan perempuan Betawi sama dengan lelaki ulama Betawi. Tiga ulama perempuan Betawi yang cukup dikenal yaitu Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah, Dr. Hj. Suryani Thahir dan Dr. Faizah Ali Syibromalisi.
Menukil dari buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai abad-21 karya Rakhmad Zailani Kiki (2018), disebutkan bahwa masih sangat sedikit informasi mengenai riwayat dan kiprah ulama Betawi perempuan tempo dulu.
Misalnya,Ustadzah Saleha Thabrani yang memang seorang muballighah dan Nyai Hj. Siti Zubaidah KH. Hasbiyallah, seorang pengarang risalah berbahasa Arab Melayu yang berjudul “Kaifiyah Sembahyang Tarawih dan Sholat”.
Salehah Thabrani merupakan mubalighah kondang di Betawi selama hampir dua dasawarsa, 1950- 1960. Informasi tentang Ustadzah Salelah Thabrani sangat sulit didapat karena belum ditemukannya sumber yang dapat memberikan informasi mengenai profilnya. Berikut ini yaitu profil Eksistensi Para Ulama Perempuan Betawi Tempo Dulu.
1. Nyai Hj. Siti Zubaidah KH. Hasbiyallah
Nyai Hj. Siti Zubaidah KH. Hasbiyallah Nama lengkapnya Siti Zubaidah binti H. Hasanuddin. Ia merupakan anak pertama dari sembilan saudara dari hasil perkawinan H. Hasanuddin dan Hj. Hindun. Lahir sekitar tahun 1941 atau tahun 1942 di Cipinang Kebembem, Jatinegara. Sejak kecil sampai menikah, ia mengaji kitab kuning kepada KH. Abdul Hadi, seorang ulama Betawi di Cipinang Kebembem. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya adalah nahwu shorof, akidah, akhlak dan fiqih.
Selain mengaji, ia juga turut mengajar di 22 majelis taklim ibu-ibu setiap bulannya. Majelis taklimnya tersebar di sekitar Klender, Tanah Koja, Kampung Bulak, Kampung Sumur, Rawa Badung, Kampung Jati, Cipinang dan Pulo Kambing. Ia juga menjadi guru tetap di majelis taklim ibu-ibu di Kelurahan Jatinegara Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Selain mengajar keluar, ia juga dipercaya oleh suaminya untuk mengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah. Bahkan, ia membantu suaminya untuk mencarikan dana ketika pondok pesantren tersebut dalam masa pembangunan.
Cara yang dilakukannya untuk mencari dana pembangunan tersebut cukup unik bahkan terbilang cerdas pada masa itu, yaitu dengan menulis sebuah risalah berbahasa Arab Melayu yang berjudul “Kaifiyah Sembahyang Tarawih dan Sholat Iedain”. Risalah ini kemudian ia cetak dan diperbanyak kemudian dijual kepada murid-muridnya dan kepada murid atau jama`ah suaminya.. uang hasil penjualan risalah ini kemudian digunakan untuk membangun pondok pesantren putri tersebut.
2. Dr. Hj. Tuti Alawiyah
Nama lengkapnya beserta gelar adalah Dr. Hj. Tuty Alawiyah Abdullah Syafi’ie. Dia lahir di Jakarta, 30 Maret 1942 dan wafat di Jakarta, 4 Mei 2016 pada umur 74 tahun. Putri kandung dari KH. Abdullah Syafi`ie, pendiri dan pemimpin Lembaga Pendidikan Islam As-Syafi’iyah, ini pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 1998 hingga tahun 1999 pada Kabinet Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan.
Sejak kecil, Hj. Tuti Alawiyah sudah memiliki bakat dakwah yang diwarisi dari ayahnya. Ketika kecil, dia sering mendengarkan ayahnya mengajar ngaji. Saat usia 9 tahun, dia diundang ke Istana Negara untuk membaca Al Qur’an di hadapan Presiden Soekarno. Ketika dia tamat SD (Sekolah Dasar) dari SD Slamet Riyadi pada tahun 1954, ayahnya menganjurkannya masuk Madrasah Tsanawiyah.
Sejak kecil. Dia telah memiliki berbakat seni. Tapi dia tidak mengekspresikan Jiwa keseniannya, karena takut pada sang Ayah yang mengajarkan pendidikan agama secara ketat. Melalui Badan Kontak Majlis Ta’lim (BKMT) yang dipimpinnya, dia juga menggubah lagu qosidah. Juga dia mengatur tarian kolosal (tari konfigurasi) dengan berbagai macam bentuk, membentuk logo BKMT, lafadz Allah, hingga AI Qur’an.
BKMT adalah salah satu terobosannya dalam mengembangkan dakhwah kalangan kaum ibu. Awalnya, dia melihat majlis ta’lim kaum ibu memiliki potensi besar, lalu dia membentuk lembaga agar profesional sehingga dakwah lebih mengena di hati masyarakat. Selain dakwah secara lisan dan pendidikan, BKMT Juga melakukan aksi dakwah secara nyata “Dakwah bil hal” seperti santunan yatim, santunan untuk korban bencana, beasiswa dan lain-lain.
3. Dr. Hj. Siti Suryani Taher
Dr. Hj. Siti Suryani Taher Lahir di Jakarta, 1 Januari 1940 dari pasangan almarhum KH. M. Thohir dan almarhumah Hj. Salbiyah, keluarga yang menjalankan dengan teguh ajaran Islam dan wafat pada hari Sabtu, 5 September 2015. Orangtuanya merupakan pendiri sekaligus pemilik perguruan Islam yang bernaung di bawah Yayasan Addiniyah Attahiriyah. Pendidikan formalnya berada dalam lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Sejak usia tujuh tahun ia bersekolah di Madrasah Diniyah Awaliyah As-Syafi’iyah Bali, Matraman Tebet, asuhan KH. Abdullah Syafi’ie.
Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tsanawiyah Diniyah Putri Padang Panjang, Sumatera Barat tahun 1953. Setelah tamat, menempuh pendidikan selama satu tahun lagi di Madrasah Mualimat Tanah Tinggi, Jakarta, tepatnya pada tahun 1958. Semangat anak pertama dari lima belas bersaudara ini untuk terus belajar memang menggebu-gebu. Hal ini dapat dilihat dari diteruskannya pendidikan selama delapan tahun di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Sepulang dari kuliah di luar negeri, ia mendirikan Majelis Ta’lim Kaum Ibu Ayyahiriyah disingkat MTKIA, dengan mengadakan pengajian secara rutin di Mushalla At Taqwa setiap Sabtu pagi. Dalam perkembangannya, karena jumlah jamaahnya semakin banyak, dibangun Masjid Jami Attaqwa tahun 1968.
MTKIA kemudian berkembang menjadi Kursus Bahasa Arab dan Agama (KURBA), yang kemudian banyak melahirkan mulbaligh intelektual. Kesemuanya mengarah pada penguatan perkembangan Perguruan Attahiriyah, yang mencakup pendiikan dasar hingga tinggi yang cabangnya tersebar hampir di seluruh penjuru Jakarta.