Senibudayabetawi.com – HUT Jakarta ke-495, Jakarta tak Berhenti Berbenah- Patung “selamat datang” di depan Hotel Kempenski Indonesia bukan hanya sekadar ide Presiden Sukarno untuk menyambut tamu dan kontingen pada Asian Games IV (1962). Akan tetapi juga sebagai penanda Jakarta sebagai “kota terbuka” bagi siapa saja.
Demikian pula julukan “kota serba ada” melekat pada Kota Jakarta yang terus menggaung dalam lagu “Lenggang Lenggok Jakarta” karya Guruh Soekarno putra. Sejak tempo dulu Jakarta menjadi magnet kuat bagi semua orang dari pelbagai suku dan daerah baik di Indonesia maupun mancanegara. Betawi sebagai etnis yang mendiami Jakarta memiliki peran sentral di dalamnya.
Betawi merupakan etnis yang lahir dari dinamika kehidupan masyarakat di Batavia pada awal abad ke-19. Suku Betawi sebagai suku paling terbuka sebab di Batavia mempersilakan semua masyarakat dari beragam suku bangsa. Seperti dari penjuru nusantara maupun mancanegara seperti Cina, Gujarat, Arab, Persia dan Eropa.
Secara geografis, Betawi merupakan salah satu suku yang mendiami kota Jakarta dan daerah satelit Jakarta seperti, Bekasi, Depok, Tangerang hingga Bogor.
Istilah “Betawi” diyakini mulai hadir pada masa periode kekuasaan kolonial di tanah Nusantara. Pada sekitar tahun 1916, kolonial belanda mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Batavia (saat ini Jakarta).
Dibawah kolonial itu akhirnya wilayah ini masyhur dikenal dengan sebutan Kota Batavia. Kota ini banyak dihuni oleh kalangan dari beragam etnis, seperti keturunan Eropa, Arab, dan China.
Perubahan nama tersebut juga diamini oleh masyarakat yang masuk dalam wilayah penyangga Batavia itu. Mereka mengikuti dengan menyebut Batavia dengan sebutan Betawi.
Kata “Batavia” merupakan kosa kata serapan yang berasal dari Belanda. Karena sulit dilafalkan oleh lidah masyarakat Indonesia pada waktu itu maka muncullah istilah ini. Tepat pada saat itu pula Jakarta sangat kental kaitannya dengan istilah Betawi. Sementara etnis Betawi sendiri diperkirakan sudah ada jauh sebelum Belanda merebut wilayah Sunda Kelapa dari tangan Fatahillah.
Jakarta “Masyarakat tanpa Seni?”
Dalam Annotated Bibliografi Jakarta (Ebing, E, 2000) karya de Haan menyebut, Jakarta yang dulu dikenal dengan Batavia pernah mendapat julukan :”… suatu masyarakat tanpa seni, tanpa budaya tinggi, tanpa agama, tanpa gagasan”.
Hal ini dikarenakan oleh adanya kompleks superior yang sering ditunjukkan terhadap kaum pribumi. Hal itu dinyatakan oleh Baudet dalam komentarnya. Tampak jelas pernyataan tersebut berhubungan dengan perasaan rendah golongan totok dan indo Belanda di Hindia Belanda terhadap orang orang Eropa lain dan negara Eropa (Baudet,1982 dikutip dari Hering 1983:1).
Padahal, pengakuan kepada etnis Betawi justru memicu terjadinya pertukaran budaya dan akulturasi yang kian masif seiring dengan beragamnya suku baik dari wilayah Nunsatara maupun mancanegara. Dan, itu menjadi cikal bakal dari budaya Betawi itu sendiri.
Proses adaptasi, modifikasi, bahkan amalgamasi, secara tidak langsung berkontribusi membangun karakter masyarakat Betawi yang dinamis, mempunyai toleransi tinggi, serta terbuka terhadap perbedaan dan perubahan.
HUT Jakarta ke-495, Jakarta tak Berhenti Berbenah
Hari Ulang Tahun Ibu Kota Jakarta jatuh pada 22 Juni. Pada Hari ini, kota yang identik dengan istilah “Betawi” ini genap berusia 495 tahun.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut Jakarta sebagai Ibu Kota Negara tidak akan pernah berhenti berbenah dengan terus melakukan pembaharuan.
“Perjalanan kota kita hampir 500 tahun, kota ini tidak pernah berhenti berbenah diri, kota ini terus menerus melakukan pembaharuan,” kata Anies dalam sambutan saat memimpin upacara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-495 DKI Jakarta di Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Rabu (22/6/2022).
Anies bertindak selaku Inspektur upacara yang dimulai sekitar pukul 07.30 WIB di Plaza Selatan Monas diawali defile Abang None Jakarta.
Defile kemudian diikuti Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), TNI/Polri hingga Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU).
Selain defile, pada peringatan itu juga diputar melalui layar monitor sejarah berdirinya Jakarta dan lukisan pasir oleh Vina Candrawati yang menggambarkan perjalanan perkembangan kota Jakarta.