Senibudayabetawi.com – Tradisi budaya Arab cukup eksis mempengaruhi Betawi. Ini tak lain karena terbentuknya solidaritas kuat komunitas Arab di Betawi tempo dulu. Jejak persebaran orang-orang Arab di Batavia tak lepas dari puncak migrasi mereka pada akhir abad ke-19 Masehi untuk berdagang ke Indonesia.
Sudah menjadi tradisi bahwa kedatangan mereka tak sekadar untuk berdagang, tapi juga menyebarkan nilai-nilai agama Islam. Sulitnya jalur laut kepulauan Indonesia memaksa mereka tak bisa membawa keluarga inti sehingga mereka merantau seorang diri. Layaknya para pedagang, mereka tak segera kembali ke tempat asal, karena hasur menunggu waktu pelayaran ke Arab kembali. Hal inilah yang membuat mereka akhirnya tinggal dalam kurun waktu yang cukup lama di Indonesia.
Melansir Peranan Komunitas Arab dalam Bidang Sosial-Keagamaan di Betawi 1900-1942 karya Muhammad Haryono, kesempatan ini pulalah yang kerap mereka manfaatkan untuk mengenal tradisi Indonesia lebih jauh. Bahkan banyak pula akhirnya menikahi masyarakat setempat hingga melahirkan keturunan. Pernikahan pasangan campuran ini melahirkan anak-anak keturunan Arab campuran yang disebut dengan peranakan Arab atau muwalad. Adanya anak-anak campuran ini sekaligus menambah banyaknya komunitas Arab di tanah Betawi.
Berdasarkan sensus yang diadakan pertama kali secara eksplisit tahun 1859 M, menyebutkan di karesidenan Batavia terdapat 312 orang Arab, sebagian besar tinggal di kota. Selanjutnya pada tahun 1870 M jumlah mereka naik tiga kali lipat menjadi 952 orang. Jumlah mereka terus bertambah 15 tahun kemudian, yaitu1885M, karesidenan Batavia menampung 1.662 orang Arab. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa minoritas Arab telah berkembang pesat menjadi komunitas Arab di Betawi.
Persebaran Orang-Orang Arab di Betawi
Sebagaimana telah diketahui, sejak abad XVIII hingga akhir abad XIX tanah Betawi telah ramai dikunjungi oleh orang-orang Arab yang mayoritas berasal dari Hadramaut. Pada mulanya meraka hidup mengelompok secara sukarela dan mengandalkan berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi lambat laun mereka mulai berekspansi untuk menyebarkan nilai-nilai agama Islam, khususnya para golongan Sadah (Jamak dari Sayyid yang artinya tuan).
Golongan ini merupakan golongan paling tinggi dan terpandang syarat akan nigrat keagamaan. Golongan Sadah menganggap dirinya sebagai keturunan cucu-cucu Nabi Muhammad dari pernikahan putri Nabi bernama Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib.
Dalam perkembangannya di Betawi, para Sayyid sangat dihormati. Selain karena dipandang sebagai keturunan Nabi, mereka juga berjasa sebagai penyebar agama Islam pada para ulama di Betawi. Para Sayyid di Betawi hampir tidak ada yang bekerja dalam bidang perdagangan dan industri. Mereka lebih pada memegang peran dalam bidang keagamaan dan pemerintahan.
Orang-orang Arab ini kemudian membentuk koloni di Batavia atau lebih tepatnya di wilayah Pekojan. Awalnya tempat ini di dominasi oleh umat muslim yang berasal dari Gujarat, Coromandel, dan Malabar, yang terletak di India. Namun, karena semakin banyak pendatang Arab dari Hadramaut, tempat ini kemudian didominasi pendatang dari Hadramaut.
Tempat pusatnya orang-orang Arab di Betawi terus mengalami perkembangan. Meski wilayah Betawi-Pekojan baru pada tahun 1844 M dihuni oleh kelompok Hadhrami, tetapi dikarenakan ketika itu menjadi tempat transit, maka populasinya berkembang dengan cepat. Misalnya, wilayah Krukut, Petamburan, dan Tanah Abang. Mereka tetap diawasi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Saat penghapusan system pemukiman pada tahun 1919 M, sebagian besar orang Arab di ini semakin menyebar ke berbagai wilayah. Misalnya, Sawah Besar, Jatinegara, Tanah Tinggi, dan Condet.
Ramadani Wahyu