Senibudayabetawi.com – Tari Cokek. Begitulah masyarakat Betawi menyebut pertunjukkan ini. Kesenian tari yang dinamis ini memiliki pemaknaan mendalam tentang arti kemerdekaan seiring perkembangannya dari waktu ke waktu. Kendati mulai jarang ditemukan, di daerah Betawi pinggiran tari ini masih ada untuk menghibur berbagai acara masyarakat.
Pada mulanya Tari Cokek dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Tionghoa kaya yang disebut cukong. Cukong menghidupi seniman Gambang Kromong dan para penari Cokek yang kerap disebut Wayang Cokek, bahkan sebelum perang dunia ke-2 ada pula cukong yang memberi fasilitas perumahan.
Mengutip Fenomena Tari Cokek di Jakarta, tarian ini bersifat hiburan dan dilakukan berpasangan antara penari Cokek dan tamu laki-laki. Bentuk tarian Cokek Betawi mirip dengan tari rakyat daerah lain seperti tari Tayub dari Tuban, tari Doger Kontrak dari Subang, tari Ronggeng Gunung dari Ciamis, tari Ketuk Tilu dari Jawa Barat, tari Gandrung dari Banyuwangi.
Cokek berasal dari Bahasa Tionghoa cukin yaitu selendang yang panjangnya kurang dari satu meter dan dipakai penari wanita untuk menggaet pasangan. Versi lain menyebut, Cokek adalah penyanyi yang merangkap penari. Cokek biasa ditanggap untuk memeriahkan hajatan. Pada perkembangannya Cokek diartikan tarian pergaulan yang diiringi orkes Gambang Kromong dengan penari-penari wanita biasa disebut Wayang Cokek.
Tari Cokek Betawi berkembang di daerah pinggiran, seperti Tangerang, Banten. Walaupun demikian, kedinamisan tari Cokek turut membawa persebarannya menuju ke daerah tengah Betawi, yakni Jakarta. Tari Cokek dikenal di Jakarta sejak pemerintahan gubernur Jakarta Ali Sadikin tahun 1970-an. Pada masa itu seluruh seni dan budaya Betawi sebagai kekayaaan masayarakat Betawi diupayakan untuk dilestarikan.
Citra Tari Cokek
Pada masa itu pula terjadi pergesekan antara kebijakan pemerintah dengan anggapan sebagian besar masyarakat Betawi yang relatif negatif terhadap tari Cokek, yakni tari Cokek dianggap sebagai suatu kesenian tak jauh dari hal-hal berhubungan dengan prostitusi.
Anggapan ini muncul karena sejarah dari Tari Cokek itu pada masa lalu yakni dari masyarakat Tionghoa ke Betawi melalui jalur perdagangan dan membawa pengaruh dalam pekembangan seni budaya daerah setempat.
Awal mula Tari Cokek yaitu penari perempuan berada di atas panggung bernyanyi dan menari. Kemudian, diikuti penonton lelaki yang ikut menari dan menyawer. Selanjutnya wayang Cokek juga bisa diiminta untuk menemani tidur para tamu.
Tari Cokek saat ini tidak lagi ditampilkan selayaknya zaman dahulu. Hal ini mungkin dikarenakan adanya perubahan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dari waktu ke waktu. Adapun alasan pandangan negatif masyarakat pada tari Cokek yakni dianggap sebagai pertunjukan hiburan yang tak jauh dari aktivitas prostitusi.
Pertunjukan Tari Cokek Sekarang
Tari khas Betawi kini berkembang dari daerah pinggir Kota Jakarta seperti Tangerang, Bekasi, Depok dan Jakarta Tengah. Biasanya mereka ditampilkan dalam upacara ulang tahun, hari-hari besar Tionghoa, dan pernikahan para pembesar keturunan Tionghoa.
Sampai sekarang pun di setiap upacara pernikahan keturunan Tionghoa selalu ada Cokek, tetapi tidak disertai sipatmo. Ini dikarenakan sebgaian besar masyarakat Betawi keturunan Tionghoa memahami Cokek sebagai salah satu sajian hiburan dalam upacara pernikahan yang harus ada.
Cokek yang terlihat pada acara hiburan pernikahan masyarakat Betawi keturunan Tionghoa saat ini hanyalah para penari yang berjejer di depan panggung dengan gerak relatif asal-asalan, dengan pakaian sehari-hari atau casual.
Sementara pada penyajian tari Cokek di acara hiburan pernikahan masyarakat Betawi keturunan Tionghoa saat ini diiringi dengan musik iringan Gambang Kromong dengan penyanyi boleh laki-laki atau perempuan. Adapun lagu-lagu yang dimainkan sebagian kecil adalah lagu-lagu ‘sayur’ Betawi. Namun sebagian besar lagu yang dimainkan adalah lagu lagu dangdut, atau pop Tionghoa.
Ramadani Wahyu