Senibudayabetawi.com – Masyarakat Betawi meyakini bahwa perkawinan bukan sekadar peresmian hubungan lelaki dan perempuan. Akan tetapi, terdapat nilai-nilai budaya adat yang kental di dalamnya. Salah satunya tercermin dalam tradisi seserahan sebelum menjalankan perkawinan.
Dalam Siklus Betawi: Upacara dan Adat Istiadat, budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyatakan bahwa berbagai jenis seserahan diberikan dari pihak lelaki ke perempuan. Misalnya mulai dari sirih nanas, mahar, peti Shie, Jung, Kekudang, Pelangkah, hingga roti buaya. Selain itu, terdapat bahan makanan pokok dan peralatan, seperti uang, makanan, bahan sembako, perlengkapan masak dan kosmetik perempuan.
Konon muasal tradisi ini ada sejak zaman Vereenigde Oost Compagnie (VOC). Pimpinan Jan Pietersszoon Coen sebagai gubernur Hindia Belanda (1557-1629) menginginkan untuk membangun masyarakat kolonial Betawi secara permanen.
Adapun tujuan dari seserahan tersebut tak lain digunakan untuk jaminan keamanan gadis yang akan didatangkan ke Hindia Belanda yang berupa seperangkat busana. Mereka akan “menikah dan baik-baik”. Setelah menikah, mereka masih diberi tambahan berupa pakaian rumah tinggal, serta uang ekstra untuk memenuhi kebutuhan.
Perempuan-perempuan ini diwajibkan tinggal selama lima belas tahun di Hindia Belanda. Sejarah seserahan dalam perkawinan adat Betawi tak jauh berkaca pada hal ini. Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia: Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur Jakarta mengungkap tradisi di masa VOC ini kemudian dilanjutkan pada masyarakat Batavia.
Namun, masyarakat pribumi menerapkan seserahan sebagai simbol melindungi pasangan. Dengan adanya pemberian jaminan kehidupan pernikahan yang terwakili dengan tercukupinya kebutuhan sandang, pangan dan papan. Atau istilahnya tanggung jawab antara mempelai lelaki ke mempelai perempuan.