Senibudayabetawi.com – Banyak yang menyebut bahwa Robinhoodnya Betawi tak lain dan tak bukan yaitu para jagoan. Ya, jagoan telah dikenal sejak ratusan tahun lalu di tanah Betawi. Masyarakat Betawi kerap menyebut bahwa para jagoan Betawi tak pernah ‘menjual’, menantang-nantang, tapi bersedia ‘membeli’ bila ada yang mau ‘jual’. Tradisi ini menunjukkan sisi positif para jagoan yang tak agresif dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.
Menurut tokoh Betawi, H. Irwan Sjafi’ie pada abad ke-19, jago Betawi merujuk pada semacam jawara kampung yang menjadi palang dade atau benteng penghalang orang yang datang dari luar. Dikhawatirkan mengganggu keamanan kampung, akhirnya para jagoan ini mencoba memastikan keamanan kampung. Tak ayal jika para jagoan ini memiliki bekal ilmu silat yang cukup mumpuni di tiap kampung Betawi hingga disebut Robinhoodnya Betawi.
Melansir dari Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempoe Doeloe karya Alwi Shahab (2001), begitu rendah hatinya para jagoan Betawi hingga salah satu asisten almarhum Mahruf, jagoan Tanah Abang menyebut salah satu sifat gurunya. “Kalau caci maki masih bisa ditahan. Ibarat anjing menggonggong tapi tidak menggigit, buat ape kita layani. Tapi, kalau tangan sudah jalan tidak pake entar dulu, langsung digebrak”.
Harmonisnya Hubungan Jagoan dan Rakyat
Dinas Museum dan Sejarah DKI menyebut adanya hubungan yang harmonis antara para jagoan atau jawara dan rakyat. Pada masa penjajahan kondisi kehidupan orang Belanda (Eropa) dan pribumi sangatlah kontras. Orang Belanda yang disebut tuan besar hidup mewah, sementara orang Betawi hidup di rumah-rumah gubuk beratapkan rumbia.
Apalagi pemerintah kolonial memberikan kebebasan kepada warga Belanda untuk memiliki tanah seluas-luasnya di Jakarta, asal mereka berani membayar. Di tanah-tanah tersebut, mereka membuka perkebunan dan pertanian. Penggarapnya adalah warga pribumi.
Para petani yang menggarap lahan milik tuan-tuan tanah itu hidupnya sangat tergencet. Mereka diharuskan membayar pajak. Sedangkan sebagian besar hasil panennya harus diserahkan kepada pemilik tanah. Hukuman berat akan dijatuhkan pada petani yang tidak mematuhi ketentuan ini.
Keadaan yang menimpa warga Betawi semakin mencekam ketika para tuan tanah, yang merupakan raja-raja kecil di wilayahnya, memelihara tukang-tukang pukul dan centeng sebagai penagih pajak.
Pada cerita-cerita rakyat Betawi seperti Si Pitung, Si Jampang, Macam Kemayoran, tokoh-tokohnya digambarkan sebagai jagoan atau jawara yang menentang Belanda dan membela rakyat yang tertindas.
Cerita-cerita rakyat seperti itu mengandung aspirasi, bahwa rakyat Betawi menentang kekuasaan Belanda yang sewenang-wenang. Seperti halnya rakyat di Jawa mengharapkan kedatangan seorang Ratu Adil, rakyat Betawi juga mengharapkan kedatangan seorang jagoan yang dapat melepaskan mereka dari penindasan.
Seperti Si Pitung. Sekalipun jago silat dari Rawa Belong ini suka merampok, bagi warga Betawi 1a bukanlah penjahat biasa. Karena yang dirampoknya adalah tuan-tuan tanah di Betawi dan Meester Cornelis (Jatinegara). Sedangkan hasilnya dibagikan pada rakyat kecil. Karena itulah, bagi warga, Pitung adalah Robinhood-nya Betawi.
Pitung bisa dekat dengan rakyat karena ia berhasil membuat panik pemerintah kolonial Belanda yang dibenci rakyat. Kata Ridwan, rakyat memperoleh kepuasan spiritual melihat Pitung berhasil membuat panik pihak kolonial. Pitung sendiri divonis mati oleh pengadilan kolonial pada 1896.