Senibudayabetawi.com – Sejarah menyatakan bahwa peradaban manusia berawal dari tepian ari. Telaga, paya, danau, sungai hingga laut menjadi saksi peradaban bermula. Ini terlihat dari negara-negara yang peradabannya tua, seperti Mesir dengan sungai Nil-nya, Mesopatania dengan sungai Tigris dan Efurat, India dengan Indus dan Gangga, dan Cina dengan Yang Tse Kiang dan Huang Ho. Bagaimana Betawi dengan sungai Ciliwung kemudian dijuluki “kuburan orang Belanda”?
Sejak masih zaman kerajaan, Jakarta telah menjadi daya tarik manusia untuk tinggal dan bermukim karena terletak di tepi atau muara Sungai Ciliwung. Hal ini juga yang akhirnya menarik hati bangsa Portugis, Inggris serta Belanda pada abad ke 16 dan 17 untuk menguasai kota ini. Bagaimanapun, popularitas Jakarta telah ada sejak abad ke-12 lalu sebagai bandar yang kerap didatangi bangsa lain dari berbagai mancanegara.
Keberadaan Sungai Ciliwung telah dimanfaatkan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada 30 Mei 1619. Tepatny, setelah berhasil menghancurkan Jayakarta (setelah nama Sunda Kelapa diubah jadi Jayakarta oleh Falatehan). Bagaimanapun, Coen menyadari bahwa selain Sungai Ciliwung bermanfaat sebagai nadi transportasi tapi juga membawa petaka berupa banjir.
Sungai Ciliwung
Melansir dari Queen of The East karya Alwi Shahab (2004), guna menjinakkan Ciliwung, Coen akhirnya memotong dan menyodet sungai ini menjadi kanal-kanal dan terusan (grachten) agar aliran sungai tak terpusat di satu tempat. Coen meniru sistem kota di Negara Tulip yang dikelilingi oleh banyak parit. Ciliwung pun yang berbelok-belok juga diluruskan.
Demi mewujudkan transportasi Ciliwung yang lancar maka lumpur-lumpur yang masuk ke muara Ciliwung dari daerah hulu sungai harus selalu selalu dikeruk. Sejak masa VOC, pihak Belanda telah membentuk Dinas Pengairan yang kemudian menjadi cikal bakal PU sekarang ini.
Rupanya, Belanda sendiri tidak selalu mampu menguasai alam. Terusan yang banyak digali jadi mampet dan berlumpur. Ditambah lagi dengan sawah-sawah yang tak terurus, yang ditinggalkan pengikut pangeran Jayakarta berubah jadi rawa-rawa. Akhirnya, terusan dan rawa-rawa berbau busuk dan menjadi persemaian nyamuk malaria.
Berjuluk “Kuburan Orang Belanda”
Bahkan, sanitasi dan kesehatan air sangat kurang perhatian. Imbasnya, air minum diambil dari sungai yang telah dikotori serta banyak yang meniru kebiasaan orang Belanda yang beriklim sub tropis dan jarang mandi. Tak ayal jika akhirnya Batavia pernah dijuluki “Kuburan Orang Belanda” karena banyaknya mereka yang mati di kota ini. Coen sendiri meninggal tiga hari setelah menderita kolera.
Akhirnya, pada akhir abad ke-18 daj ke-19, hal ini pulalah yang mendorong orang Belanda meninggalkan wilayah ini ke wilayah Selatan ke (Weltevreden), yakni sekitar lapangan Banteng, Senen dan Monas sekarang. Mereka akhirnya mendirikan rumah-rumah besar yang gaya bangunannya diilhami pendopo Jawa, atau rumah-rumah golongan ningrat umumnya.
Sementara, pasca perpindahan ke wilayah Selatan, bukan hanya kanal dan terusan yang dibangun Belanda yang sudah tidak berfungsi. Akan tetapi, juga rawa-rawa yang dulunya dijadikan sebagai daerah resapan air.
Itulah kenapa toponim asal usul sebuah tempat menunjukkan bahwa daerah-daerah seperti Rawamangun, Rawabangke, Rawabelong yang memang kawasan rawa-rawa. Demikian pula pula dengan pulo yang menunjukkan bahwa ditempat ini dulunya dikitari air. Seperti Pulogadung, Kampung Pulo, Kramat Pulo dan Pulomas. Atau tegalan-tegalan seperti Jl Tegalan di Matraman dan Tegalparang di Mampang, Jakarta Selatan.
Jakarta dulunya juga kaya dengan hutan jati, yang hingga sekarang menjadi nama tempat seperti Jatinegara, Jatipadang, Kramatjati hingga Jatibaru.