Senibudayabetawi.com – Barong atau ondel-ondel merupakan salah satu tradisi budaya yang lekat dengan Betawi. Jauh sebelum pentas atau manggung di berbagai acara Betawi, tempo dulu, barong kerap diarak keliling kampung. Ternyata, tradisi ngarak barong ini memiliki sejarah yang panjang yakni sejak abad ke sembilan belas.
Awalnya, barong dikenal luas mulai tahun 1940-an dan berlangsung hingga sekitar tahun 1980-an. Namun setelah itu tidak lagi diadakan karena sang tokoh pengkreasi, Samin bin Boing, pembuat Barong dan kedok semakin tua hingga pada akhirnya meninggal. Hingga hampir lebih dari 40 tahun tradisi itu pun menghilang.
Seperti halnya tujuan awalnya ngarak barong digunakan untuk mengusir bala dan wabah panen padi dan hasil pertanian. Kegiatan ngarak dilakukan menjelang atau sehabis panen. Namun seiring kemajuan peradaban dan masuknya nilai-nilai religi pada masyarakat, tradisi ini mulai mengalami pergeseran makna.
Sebagai Penolak Bala
Tradisi yang sedianya sebagai pengusir bala diikuti pembacaan rapalan mantra, kemudian berubah sebagai tradisi menyambut kegembiraan menjelang akhir Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Arak-arakan Barong dilakukan menjelang seminggu setelah lebaran.
Prosesinya yaitu ada sepasang pengantin dikawal dua barong selanjutnya di belakang dikawal empat orang penggotong cepu. Cepu merupakan sebuah wadah penampung kue-kue dan hasil panen yang dihantar sepasukan jawara, barisan masyarakat kampung dengan diiringi musik tabuh bedug.
Terdepat juga iringan musik rekorder dari toa atau speaker berkeliling kampung menuju tempat akhir sebuah lapangan. Menariknya, di setiap jalan yang dilintasi, penduduk kampung keluar rumah sambil memasukan kue, buah atau penganan apapun ke dalam cepu. Selanjutnya kue, hasil panen dan penganan tersebut diserahkan kepada tetua kampung atau ustadz, yang digelar di atas tikar diikuti pembacaan doa selamat.
Semua penonton yang hadir mengaminkan. Kue dan penganan tersebut diambil secara bebas oleh peserta dan dimakan secara bersama. Peristiwa itu dikenal dengan istilah bebaritan. Arak-arakan barongan, mungkin banyak diketahui masyarakat di sekitar Bekasi dan Jakarta sebagai ondel-ondel, boneka raksasa yang sering diarak keliling kampung oleh warga Betawi.
Konon muasal kata “barongan” berasal dari kata “barengan” yang berarti sama-sama atau “bareng-bareng”. Setelah itu, tradisi ngarak barong telah bertransformasi menjadi arak-arakan di berbagai acara Betawi.
Barongan Tempo Dulu
Sejak VOC mulai masuk ke Indonesia, pedagang Inggris W. Scot mencatat dalam bukunya, jenis boneka seperti ondel-ondel sudah ada pada tahun 1605. Hal itu dilaporkan oleh E.R. Scidmore, wisman asal Amerika yang datang ke di Batavia pada penghujung abad ke 19 dalam, “Java, The Garden of The East”.
Hal ini terungkap dari tulisan W. Scot, seorang pedagang Inggris yang pada awal abad ketujuh belas berada di Banten, yang dikutip oleh W. Fruin Mees dalam bukunya yang berjudul “Geschiedenis van Java jilid II” yang intinya kurang lebih sebagai berikut :
“Pada tahun 1605, iring-iringan Pangeran Jayakarta Wijayakrama untuk merayakan pada khitanan Pangeran Abdul Mafakhir yang tiga tahun sebelumnya dalam usia 7 tahun telah dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahandanya, Sultan Muhammad yang telah wafat di Palembang, antara lain membawa boneka berbentuk raksasa.”
Schidmore tidak menyebut secara jelas apa jenis tarian yang bermain di jalanan itu. Namun, secara turun temurun warisan budaya leluhur dari nenek moyang masih dijalankan oleh masyarakat.